MAKALAH
MAHABBAH
DAN MA’RIFAT
Mata Kuliah
Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu
KH. Jamaludin Abdullah
Disusun oleh
Kiromulmuslim
Mitakul Korem
Nur Kholida As
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
MIFTAHUL ‘ULA
NGLAWAK -
NGANJUK
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi
Muhammad sendiri - yang notabene pembawa agama
Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam
semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah
satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah)
menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama
sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan
puncak yang harus dilalui para sufi.
Mahabbah, cinta merupakan
hal penting dalam membangun kedamaian dan ketentraman. Rasa damai dan tentram adalah hal yang senantiasa di
impikan oleh setiap manusia dari zaman ke zaman. Sejak zaman dulu Rabiah al-Adawiyah yang hidup ratusan tahun yang lalu sampai
sekarang di era modern dan globalisasi setiap manuasia masih terus berusaha
mencari kedamaian.
Tasawuf merupakan salah satu dimensi pendekatan yang digunakan Islam dalam
mewujudkan rasa damai dan tentram dalam hati setiap insan. Islam yang dating
dengan tujuan menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan yang hakiki kepada umat
manusia telah banyak memberikan tuntutan kepada manusia lewat al-Qur’an dan
al-Hadist bagaimana agar manusia bisa menemukan kebahagiaan yang hakiki. Salah
satu konsepsi yang diajarakan Islam untuk kebahagian umat manusia adalah
mahabbah. Maka selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas seputar tentang mahabbah serta tata cara melaksanakannya.
Dan ma’rifat adalah item yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan
seseorang untuk mendakatkan diri kepada Tuhan dan meraih cinta sejati dari
Tuhan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka
penulis memfokuskan pembahasan dalam makalah ini sebagai berikut :
1.
apakah pengertian mahabbah ?
2.
apakah dasar dan doktrin mahabbah
?
3.
siapa tokoh tasawuf mahabbah ?
4.
apakah pengertian ma’rifat ?
5.
bagimana cara mencapai ma’rifat ?
C.
TUJUAN PEMBAHASAN
Dari latar belakang di atas maka
tujuan dari pembahasan dalam makalah ini
sebagai berikut :
1.
Mengetahui pengertian mahabbah
2.
Mengetahui dasar dan doktrin mahabbah
3.
Mengetahui siapa tokoh tasawuf mahabbah
4.
Mengetahui pengertian ma’rifat
5.
Mengetahui bagimana cara mencapai ma’rifat
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MAHABBAH
Mahabbah
secara bahasa artinya cinta, hal ini yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan.
Lebih luas lagi mahabbah memuat pengertian
:
a. Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan
membenci sifat yang melawan Tuhan
b. Berserah kepada Tuhan
c. Mengosongkan perasaan di hati dari
segala-galanya kecuali Dzat Tuhan
Dalam al-Qur’an dapat
dijumpai dalam surat al-Maidah 54
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن
دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ
يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ -٥٤
Artinya “Wahai
orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari
agamanya, maka kelak Allah akan Mendatangkan suatu kaum, Dia Mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap
orang-orang yang beriman, tetapi bersikap
keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak
takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang
Diberikan-Nya kepada siapa yang Dia Kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”
Aliran
tasawuf mahabbah kedudukannya sejajar dengan tasawuf lainya seperti ma’rifat, al-fana
dan al-baqa’. Faham tersebut sering disebut stasiun (maqamat) yang berada di atas tingkatan
taubat, zuhud, sabar, tawakkal dan ridla.
Menurut
ahli sufi manusia yang palaing beruntung keadaannya di akhirat ialah manusia
yang paling kuat rasa cintanya terhadap Allah SWT.
Sebagaimana
firman Allah dalam al-Qur’an surat al-ahdzab ayat 4
مَّا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا
جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ
يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ -٤
Artinya
: Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya;
dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan
anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataan di mulutmu saja. Allah Mengatakan yang sebenarnya dan Dia Menunjukkan
jalan (yang benar).
B.
DASAR DAN DOKTRIN MAHABBAH
1.
DASAR-DASAR MAHABBAH
a. Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran
maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang
cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari
unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan
oleh kalangan orientalis.
Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1. QS. Al-Baqarah ayat 165
Dan di antara
manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
2. QS. Al-Maidah ayat 54
Hai
orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di
jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
3. QS. Ali Imran ayat 31
Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai
dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalil-dalil dalam
hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
ثَلَاثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ
إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan
manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya
karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci
dilemparkan ke neraka.
….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ
الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي
يَمْشِي بِهَا …
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah
sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun
menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya
yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul;
dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada
anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
b. Dasar Filosofis
Dalam mengelaborasi
dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali
merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut
beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya,
yaitu sebagai berikut:
1.
Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan
pengetahuan (idrak)
Manusia hanya
akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda
mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu
keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan
diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan
kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta.
Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan
penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
2.
Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens
pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin
besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar
kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka
semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan
kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan
kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan
dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata
hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada
kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta
terhadap Tuhan terwujud.
3.
Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang
dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta
kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan
membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya
al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan
tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan
seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai.
Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
1. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan
hidup
Orang yang
mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak
memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung
kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan
kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan
oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat
ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta
kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya, maka
semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
2. Cinta kepada orang yang berbuat
baik
Pada galibnya,
setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan
watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun
pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah
sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh
seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi
maupun motif ukhrawi.
Untuk motif
duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas.
Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas,
karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya,
ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan
mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan
ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana
yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada
hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan
perintah Allah.
Ketika kesadaran
bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun
berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya
tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia
disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun
seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap
diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan
tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang
betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik,
yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
3. Mencintai diri orang yang berbuat
baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai
kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang
mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang
yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung.
Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si
rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya,
seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski
sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada
gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun,
hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin
tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam
semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan
Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal
di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang
Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
4. Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah
tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah
dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan
sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i,
misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah
dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang
terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat
batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah.
Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah
relatif lebih kekal.
Pada gilirannya,
segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun
keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata
hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha
Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya,
maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat
pantas Tuhan untuk dicintai.
5. Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu
menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya.
Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil.
Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan
seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka
tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan
keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak
saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan
ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan
muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks
kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski
demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang
diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian
batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali
tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh
diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan,
dan lain-lain.
Terkait dengan
sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya.
Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh
Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam
arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang
hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
2.
DOKTRIN TASAWUF MAHABBAH
A. Makna Cinta di Kalangan
Sufi
Dalam tasawuf,
konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada
Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih
sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak
pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan
tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian
sebelumnya dalam makalah ini.
Secara
terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu
kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan
itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci
adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila
kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan
dendam.
Menurut Abu
Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang
sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin
Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk
ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta
adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah
dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
B. Cinta Sejati adalah Cinta
kepada Allah
Bagi
al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan
kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam
mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang
terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu
karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai
orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri.
Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta
terhadap Allah.
Jika sudah
dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah
diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang
mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima
faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi),
dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung
kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan
seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
C. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana
diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal
(keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam
kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba
di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa
ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada
Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu
keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah
suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut
al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam)
puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan
setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti
rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat
lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah
selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah,
seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini
juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi
Berbeda dengan
al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi
al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang
mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan
memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan
disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun
disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
D. Tingkatan Cinta
Dilihat dari
segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi
tiga macam cinta.
Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul
karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini
adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena
jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan
menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq.
Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap
kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri
cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain
itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat
(kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta
macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an
Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat
cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak
lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan
dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah
berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid
menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang
Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
C.
TOKOH TASAWUF MAHABBAH
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di
abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah
sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya
tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman
modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa
pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat
itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada
rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh
Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting
dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa
dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku,
sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku
terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap
surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya
semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu
yang abadi.”
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya
telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk
mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada
ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun.
Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga
Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya,
karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.
D.
PENGERTIAN MA’RIFAT
Menurut arti lughawi, ma’rifat
berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-‘irfatan, menjadi ‘irfatatan dan
ma’rifatan yang artinya mengetahui dan mengenal sesuatu dengan
sesungguhnya dan sempurna. Ma’rifat tersebut dipergunakan untuk menunjukkan
ilmu yang diperoleh dari proses pemahaman, pemikiran serta perenungan. Para
ahli teologi, ahli hukum (fuqaha’), dan sekelompok lain orang memberi nama
ma’rifat kepada pengetahuan yang benar (‘ilm) tentang Tuhan. Karenanya mereka
mengatakan bahwa ma’rifat lebih utama daripada pengetahuan (‘ilm).
Ma’rifat tersebut juga lebih spesifik
dari pada kata ilmu. Yang sering dipergunakan adalah ‘Fulan mengenal Allah’
(Fulan Ya’rifullah), bukan ‘Fulan mengetahui Allah’ (Fulan Ya’lamullah) yang
berbentuk transitif dengan satu obyek penderita. Sebab manusia mengenal Allah
itu adalah semata dengan merenungkan tanda-tanda-Nya, dan bukannya dengan
mengetahui Dzat-Nya. Dan sebaliknya, sering dipergunakan, ‘Allah mengetahui
ini’ (Allah Ya’lamu Kadza) dan bukan ‘Allah mengenal ini’ (Allah Ya’rifu Kadza)
adalah, karena kata ma’rifat tersebut dipergunakan untuk menunjukkan ilmu yang
diperoleh dengan berpikir.
Rasulullah bersabda : تفكروافى خلق الله ولاتفكروافى ذاته فتهلكوا
“Pikirkanlah tentang keadaan
makhluk Allah dan janganlah kamu memikirkan tentang zat-Nya yang menyebabkan
kamu binasa” (HR. Abu Nu’aim).
Jadi antara kata ilmu dan ma’rifat
tersebut dari segi lafadz dan makna memang berbeda. Sedangkan perbedaan yang
sangat mendasar antara keduanya adalah, bahwa ma’rifat itu merupakan ilmu yang
harus dilaksankan, sehingga meliputi ilmu dan amal secara total. Namun,
ma’rifat tersebut lebih banyak menyangkut aktivitas hati sebagaimana sabda Nabi
SAW:
والله اني
لاعلمكم بالله له خشية
Artinya: “Demi Allah! Aku adalah
orang yang paling tahu tentang Allah di antara kamu, dan paling takut
kepada-Nya di antara kamu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan,
“Sabda Rasulullah saw, ‘Akulah orang di antara kalian yang paling tahu tentang
Allah,’ tersebut menunjukkan, bahwa ilmu tentang Allah itu bertingkat-tingkat.
Bahwa ada sebagian orang yang lebih baik daripada yang lain. Dan di antara
mereka, Nabi saw. adalah yang tertinggi derajatnya. Ilmu tentang Allah itu
mengharuskan adanya pengetahuan yang berkaitan dengan sesuatu berikut
sifat-sifat, hukum-hukumnya, serta hal-hal yang menyangkut semuanya. Inilah
keimanan yang benar.”
E.
JALAN MENCAPAI MA’RIFAT
Di dalam suatu dalil dikatakan bahwa
:
“Awwaluddin Ma’rifatullah”
(Awal mula seseorang itu beragama, ialah mengenal akan Allah)”.
Dimana seseorang itu wajib hukumnya
untuk mengenal akan Allah sebagai langkah awal menuju kesempurnaan beragama.
Tanpa mengenal Allah maka Ibadah apapun yang dilakukan bagaimana mungkin bisa
dikatakan sampai sedangkan Tujuan nya saja tidak diketahui. Karena itu
sangatlah penting sekali pengenalan akan Allah itu di dalam kehidupan ini.
Dengan Mengenal akan Allah maka akan dirasakannya Manis Lezatnya ke imanan,
dirasakan khusyuknya dalam Amal Ibadah serta Ketenangan Jiwa akan mengalir di
dalam dirinya. Menjadikan Pribadi yang ikhlas, sabar, tawakkal serta Ridho
dalam menjalani Hidup. Tentu tiada kebahagiaan yang melebihi daripada
kebahagiaan para Arif billah/orang yang mengenal akan Allah
Seandainya Allah Swt membukakan akan
rahasia keagungan para Arif billah, maka niscaya orang-orang akan tercengang
dan terheran-heran serta takjub dibuatnya. Karena Nur yang meliputi diri para
Arif billah itu akan memancar menembus sampai ke langit ketujuh. Karena itu lah
Allah menutup akan diri para kekasih-kekasihNya itu, sehingga tidak ada yang
mengetahui tentang dirinya melainkan hanya Allah dan mereka-mereka yang
sama-sama telah sampai pada maqom Ma’rifatullah tsb.
Adapun Manusia-manusia itu untuk
sampai kepada pengenalan akan Allah (Ma’rifatullah) maka terlebih dahulu ia
haruslah mengenal dirinya yang sebenar-benarnya.
“Man ‘Arofa Nafsahu faqod
‘Arofa Robbahu” (Barang siapa yang mengenal akan dirinya yang sebenarnya
niscaya kenal lah ia akan Allah).
Dan tahapan-tahapan yang harus
dilalui adalah :
- Menundukkan Hawa Nafsu dengan memerangi kesyirikan, kekufuran, kemunafikan, kefasikan dan kemurtadan yang ada di dalam diri dengan menjauhi kesombongan, keingkaran terhadap kebenaran, kebodohan dan ketidak pedulian tentang kebenaran.
- Apabila ia telah berhasil di dalam memerangi Hawa Nafsunya tadi maka ia akan di anugrahi Hidayah/petunjuk kepada jalan yang di Ridhoi Allah Swt yaitu jalan menuju kepada Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw, serta dilengkapi ia dengan sifat-sifat Muhammad Rosulullah Saw yaitu Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah serta menjadikan ia Sami’na wa atho’na.
- Apabila ia tetap Istiqomah pada tahapan ke-1 dan ke-2 itu maka ia akan disesuaikan oleh Allah Swt dengan Hukum Sunatullah yang berlaku di dalam kehidupan ini. Maka tetapkanlah kesabaranmu di dalam Hukum Allah Swt itu. (Tawakkal/berserah diri kepada Allah dengan meyakini bahwa apa yang terjadi atas dirinya, itu semua Qudrat Iradat Allah Swt semata). Bersabarlah! Dan pasrahkanlah dengan sebenar-benarnya, dan berlaku kasih sayanglah kepada sesama Saudara Mu’min serta menjadilah Rahmat bagi Makhluk Allah Swt yang lain. Tetapi ingatlah!!!, sesungguhnya banyak di antara orang Mu’min Hamba-hamba Allah itu yang terlena di dalam tahapan ini, artinya mereka yang takjub dan hilang kesadaran dirinya karena sangat mempesonanya keindahan-keindahan dan kemuliaan-kemuliaan Allah Swt yang dinyatakan/ditampakkan oleh Allah berupa karomah-karomah membuat ia lupa akan Allah Swt yang menganugrahkan kelebihan-kelebihan itu sehinggan Karomah itulah yang menjadi maksud dan tujuannya. Lalu lupa ia kepada tujuan yang sebenarnya yaitu Allah Swt yang menurunkan Karomah itu. Maka jatuhlah ia kepada jurang kefasikan, kembali dikuasai oleh Hawa Nafsunya. “Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah………….”. Berhati-hatilah di dalam tahapan ini!!!!, tidak ada seorangpun yang selamat dalam tahapan ini melainkan mereka yang benar di dalam memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah Swt, sehingga jadilah Allah sebagai penolongnya dan hanya Allah lah sebaik-baik penolong bagi orang-orang Mu’min.
- Kemudian apabila ia telah sampai kepada tahapan itu dengan selamat dan ia senantiasa di dalam kesabaran serta selalu berhati-hati di dalam Musyahadahnya (Penyaksiannya), maka akan tersingkaplah segala Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw dengan sendirinya tanpa ia memaksakan kehendaknya untuk menyingkap tirai itu. Artinya ; Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw itu sendiri yang akan datang menjemputnya untuk di bawa naik (Mi’raj) menuju Alam yang tiada Batas dan dihampirkannnya kepada Kebenaran yang membawa Rahmat yaitu Nurun Ala Nurin sumber segala hakikat-hakikat yang ada termasuk Hakikat Diri atau Hakikat Muhammad. Lalu timbul lah kecintaan yang amat sangat dalam kepada Muhammad Rosulullah Saw, rindu yang tiada habis-habisnya dan diwujudkannya di dalam gerak dan diamnya dengan Sholawat dan puji-pujian kepada Rosulullah Saw. Kecintaannya yang sangat dalam kepada Rosulullah Saw terasa nikmat sekali dirasakannya, sehingga tiada nikmat apapun yang dapat menyamai kenikmatan cinta Rosulullah Saw. Racun kerinduan rela dan ikhlas diminumnya karena kemabukkannya tiada bandingannya. Kemabukkan cinta itulah yang mengahantarkan dirinya kepada Robbul Izzati untuk berkasih-kasihan memadu cinta yang telah lama terpendam.
Ketika para Pecinta Allah sudah asyik
di dalam pandang memandang, maka Allah akan mendudukan ia pada “Maqom
Muroqobah” sebagai jalan terbukanya Tirai “Kebenaran
Hakiki/Mukassyafaturrobbani”. Itulah Akhir dari pada pengembaraan dan
perjalanan dan Itulah Puncak segala Puncak kenikmatan dan kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid
Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Abu al-Qasim
al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book dalam
Program Syamilah).
Abu al-Wafa
al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang
Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar
al-Ma’rifah, tt).
Al-Hujwairi, Kasyful
Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993).
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973).
No comments:
Post a Comment