PEMILU SEBAGAI WUJUD
DEMOKRASI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan yang dibimbing
Oleh: H. Sholikhin Nasrudin SH.
Oleh:
M. Kiromul Muslim
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL’ULA
(STAIM)
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
DESEMBER, 2012
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Demokrasi
bukanlah tujuan, melainkan jalan yang selama ini diyakini paling menjanjikan.
Sebagai prinsip sebuah sistem sosial dan politik yang paling baik saat ini
demokrasi menjanjikan solusi terbaik bagi perbaikan tatanan masyarakat
Indonesia.
Pemilu
merupakan salah satu wujud atau (bentuk) demokrasi yang mana dalam hal ini
rakyat mampu menyalurkan inspirasi serta kebebasan pendapatnya dalam menentukan
wakil dari mereka (UUD ’45 pasal 23 ayat 2). Baik dan buruknya suatu Negara
merupakan hasil dari pimpinanan suatu Negara tersebut, yang dipilih oleh rakyat
itu sendiri, karena sesungguhnya, pemerintahan itu terjadi dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.
1.2
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini telah dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut
1. Apa Hakikat Demokrasi?
2. Apa makna Pemilihan Umum (Pemilu) sehingga dapat disebut sebagai
wujud demokrasi?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembahasan
adalah:
1.
Untuk
memenuhi hakekat dari demokrasi.
2.
Untuk
mengetahui makna pemilihan umum sehingga
mampu disebut sebagai wujud demokrasi.
BAB 11
PEMILU SEBAGAI WUJUD DEMOKRASI
2.1
HAKEKAT DEMOKRASI
Setelah pada
pembahasan pemilu, perlu diketahui hakekat demokarasi itu sendiri. Secara
etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata dari yunani yaitu “demos” yang
berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein atau cratos “ yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.
Gabungan dua kata demos cratein atau demos-cratos (demokrasi)
memiliki arti suatu keadaan Negara
dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat,
kekuasaan tertiggi berada dalam
keputusan bersama rakyat , rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan
oleh rakat.
Sedangkann pengertian demokrasi secara istilah atau terminolgi
adalah seperti yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut:
a.
Joseph
A. Suchmeter: Mengatakaan demokrasi merupakan suatu perencanaan instituanal
untuk mencapai keputusan politik dimana individu - individu memperoleh
kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
b.
Sidney
Hook: berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan –
keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat
desa.
c.
Henry
B. Nayo: menyatakan demokrasi sebagai system politik merupakan suatu system
yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil - wakil yang diawali secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan
politik.
d.
Affan
Gaffar : memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normative
(demokrasi empirik) dan empirik (demokrasi empirik).
Namun demikian,
diluar perbedaan pengertian demokrasi dikalangan para ahli demokrasi, terdapat
titik temu pada beragam pengertian demokrasi tersebut yakni bahwa sebagai
landasan hidup bermasyarakat dan bernegara demokrasi meletakkan rakyat sebagai
komponen penting dalam proses dan praktik-praktik demokrasi. Rakyatlah yang
memiliki hak dan kewajiban untuk melibatkan dan untuk tidak melibatkan sendiri
dalam semua urusan social dan politik,
termasuk diantaranya dalam menilai kebijakan Negara yang menganut system
demokrasi adalah Negara yang diselanggarakaan berdasarkan kehendak dan kemauan
rakyat. Senada dengan pemahaman ini, jika dilihat dari sudut pandang
organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian Negara yang dilakukan oleh
rakyat sendiri atau atas persetujuan
rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
Dari beberapa
pendapat diatas dapatlah disimpulkan bahwa sebagai suatu system bermasyarakat dan
bernegara hakikat demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses social dan politik. Dengan kata lain, sebagai
pemerintahan ditangan rakyat mengandung pengertian tiga hal yaitu pemerintahan
dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government
by of the people) dan pemerintahan untuk rakyat (government for of the
people). Tiga factor ini merupakan tolak ukur umum dari suatu pemerintahan
yang demokratis, ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:
v Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people)
mengandung pengertian bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu
pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui
mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Pengakuan dan dukungan rakyat bagi suatu
Negara sangatlah penting, karena dengan legitimasi politik tersebut pemerintah
dapat menjalankaan ridabirikrasi dan program-programnya sebagai wujud dari
amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.
v Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people)
memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama
rakyat, bukan atas dengan bribadi elit Negara atau elit birokrasi.
v Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for of the people)
mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada
pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat umum
harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis.
Demi terciptanya proses demokrasi setelah terbentuknya sebuah
pemerintahan demokratis lewat mekanisme
pemilu demokratis, pemerintah berkewajiban untuk membuka saluran-saluran
demokratis baik formal maupun non formal.
2.2 Pemilihan Umum (Pemilu)
Pemilu
merupakan suatu hal yang sangat diperlukan sebagai wujud bagi tegaknya sebuah
Negara yang demokratis sekaligus dapat mencegah terjadinya penyelewengan
kekuasaaan dalam system yang demokratis adalah adanya mekanisme pelaksanaan
pemerintahan atas dasar prinsip-prinsip demokratis, mekanisme itu antara lain
melalui pemilihan umum (Pemilu) yang dilaksanaakn secara teratur sertaa
kompetisi yang terbuka dan sederajat diantara partai-partai politik. Maka,
demokrasi menghendaki agar pemilihan wakil rakyat dan pemimpin pemerintahan
menjamin adanya peluang yang samaa bagi
setiap partai dan kandidat pemimpin untuk meraih kemenangan berdasarkan pilihan
bebas rakyat yang berdaulat.
Pemilu
sebagai sebuah demokrasi procedural adalah sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dalam pemerintahan Negara. Pemilu, dengan system apapun, hanya merupakan
instrument untuk mewujudkan pemerintahan yang representatif dan legitimate
dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi. Pemilihan umum adalah
suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Melalui pemilihan umum
rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlement dan dalam stuktur
pemerintahan. Ada Negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila
memilih wakil rakyat untuk duduk dalam parlemen, akan tetapi ada pula Negara
yang juga menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para penjabat tinggi
Negara.
Ada dua system pemilihan umum yaitu:
1.
Pemilihan
umum system distrik; (sigle member constituency) single member distrik;
mayority system, distrik system).
2.
Pemilihan
umum system proposional; (multi member constituency, propotional
representation system, proportional system).
Dalam
pemilu system distrik, daerah pemilihan dibagi atas distrik-distrik
tertentu. Pada masing-masing distrik
pemilihan, setiap Parpol mengajukan satu calon. Misalnya, 2 atau 3 kecamatan
atau distrik. Partai PDI mencalonkan Megawati Soekarno Putri untuk bersaing
pada distrik tersebut. Partai PKB mencalonkan Abdurrahman Wahid, dan PAN mencalonkan Amien Rais.
Sedangkan dalam pemilu system proposional yang dianut di Indonesia adalah
pemilu yang secara tidak langsung memilih calon yang didukungnya, karena para
calon ditentukan berdasarkan nomer urut calon dari masing-masing Parpol
atau organisasi politik (Orsospol). Para
pemilik memilih tanda gambar atau lambang suatu Orsospol. Perhitungan suara
untuk menentukan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing partai politik
ditentukan melalui perjumlahan secara nasional atau penjumlahan suatu daerah
(Provinsi). Masing-masing daerah diberi jatah kursi berdasarkaan jumlah penduduk
dan kepadatan penduduk didaerah yang bersangkutan.
Dalam catatan sejarah kepolitikan Indonesia,
pengalaman melaksanakan pemilu kurang lebih Sembilan kali
(1955,1971,1977,1982,1987,1992,1997,1999,dan 2004). Pengalaman pertama adalah
penyelenggara pemilu 1955 dengan system multi partai dan dikenal sebagai pemilihan umum yang demokratis dengan tingkat
persaingan antar partai yang cukup ketat. Hal itu dapat dilihat, dari empat
partai besar yang muncul dari partai satu dengan partai lain dibawahnya masing-masing
hanya terpaut sekitar 2 persen. Pada saat itu PNI memperoleh 22,3%, Masyumi
20,3%, NU 18,4%, dan PKI 16,3%. Pengalaman berikutnya adalah pemilu-pemilu yang
diselenggarakan selama Orde Baru yang dilaksanakan sebanyak 6 (enam) kali. Dari
sini melahirkan pemilu yang tidak ditandai dengan kompetisi partai. Golkar
secara hegemonic paling banyak memperoleh peluang merai suara. Pada pemilu
pertama masa orba tahun 1971, konten ini memperoleh 60%, lalu tahun 1987 sampai
meraih 70%, meski pada pemilu-pemilu berikutnya suara golkar menurun drastic,
namun tetap saja tidak member peluang bagi
pesaingnya, dalam hal ini PPP dan PDI untuk mengimbangi perolehan suara Golkar.
Melihat keadaan yang seperti itu Nampak bahwa
pelaksanaan Pemilu seringkali hanya menjadi sarana formalitas politik, Pemilu
hanya dijadikan alat Legitimasi pemerintahan non demokratis sedangkan pemilunya
sendiri berlangsung. Akhirnya pemilu yang selama ini dilaksanakan di Indonesia,
lebih menjadi ‘ritual’ demokrasi dan bukan sebagai sarana demokrasi yang
dijalankan secara relative jujur, bersih, bebas, kompetitif dan adil.
Pemilu 1999, merupakan pemilu pertama yang
dilangsungkan pasca pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto
sekaligus merupakan pemilu kedua dengan system multipartai (setelah pemilu
1955) Pemilu ini yang tertuang dalam UU No. 3/1999, menjadi ajang untuk mencoba
menerapkan system (erectoral law) dan proses pemilu (electoral proses). Pada
pelaksanaannya Pemilu 1999 mencoba memenuhi persyaratan pemilu demokratis
diantaranya dengan melakukan perubahan kebijakan yaitu:
1.
Kebijakan
birokrasi sipil dan militer dalam menyikapi keberatan pemilu 1999 tersebut.
2.
Kebijakan
mengenai pembentukan lembaga-lembaga yang mewadahi kerja pemilu berikut
struktur organisasi lembaga-lembaga tersebut.
3.
Kebijakan
untuk membuka pintu gerbang ketertutupan pintu demokrasi yang ditandai dengan
diizinkan berdirinya partai–partai
politik serta kebebasan pers (UU. No 2/1999).
Serangkaian
kebijakan pemerintah tadi memperlibatkan empat hal penting yaitu:
1.
Pemerintah
memperlibatkan kesungguhan atas demokrasi yang dilakukannya pada pemilu 1999.
2.
Pemerintah
mempercayakan pelaksanaan pemilu kepada KPU meski banyak yang pesimis terhadap
keberadaan lembaga tersebut.
3.
Walaupun
berbagai permasalahan muncul dalam kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
pemilu 1999, namun pemerintah agaknya berhasil menyakinkan rakyat bahwa pemilu
merupakan satu-satunya cara untuk membentuk perwakilan rakyat (DPR/MPR) baru
yang legitimate.
4.
Pemerintah
mencoba untuk tidak banyak mengintervensi pemilu 1999.
Dari penyelenggara pemilu yang ditandai dengan
birokrasi dan militer yang lebih netral, selain memberikan iklim yang kondusif
bagi pelaksanaan pemilu juga telah memungkinkan berlangsungnya system kompetitif
yang lebih terbuka. Hasilnya kemudian dapat diliat yaitu dengan munculnya lima
partai besar dari 48 konstetans pemilu yaitu PDI perjuangan, Partai Golkar,
PKB, PPP, dan PAN. Meski jarak persaingan mereka tidak seketat kompetisi Partai
pada pemilu 1955, tetapi persaingan perebutan suara begitu tajam bahkan
‘terbumbui’ oleh kampanye yang emosional dan menjurus kekerasan.
Pada
pemilu 1999, telah berjalan relative aman dengan tingkat partisipasi yang cukup
tinggi. Antusiame masyarakat terhadap
pemilu 1999 setidaknya membuktikan adanya keinginan kuat untuk menata ulang
format politik formal di Indonesia pasca Orde Baru. Terlaksananya pemilu 1999
juga membutuhkan bahwa masyarakat mengakui bahwa pemilu merupakan sarana yang
efektif untuk mengawali perubahan peta politik di Indonesia, yang selama Orde
Baru hanya dikuasai oleh tiga partai yang secara formal diakui pemerintah.
BAB
111
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Hakekatnya
demokrasi adalah peran rakyat dalam proses social dan politik. Adapun system
pemerintahannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pemilu
merupakan suatu yang diperlukan sebagai wujud bagi tegaknya sebuah Negara yang demokratis sekaligus dapat mencegah
terjadinya penyelewengan kekuasaan dalam system yang demokratis. Melalui
pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen dan dalam
stuktur pemerintahan. Ada dua system pemilu yaitu pemilihan umum system distrik
dan pemilihan umum system proposional. Pada pemilu 1999 telah membuktikan bahwa
masyarakat mengakui bahwa pemilu merupakan sarana yang efektif untuk mengawali
perubahan peta politik di Indonesia.
3.2 SARAN
Dalam pembuatan makalah ini apabila
ada keterangan yang kurang dipahami, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan saya
sangat berterima kasih apabila ada saran/kritik yang sifatnya membangun sebagai
penyempurna dari makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ubaidillah, A
dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif
Hidayatulloh.Jakarta,2006
No comments:
Post a Comment