FAKTA
AGAMA DAN FENOMENA KEBERAGAMAAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Agama adalah akspresi simbolik yang barmacam-macam
dan juga marupakan respon seseorang terhadap sesuatuyang di fahami sebagai
nilai yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan karakteristik utama
dalam memahami makna agama.dengan demikian, tema pokok penelitian ilmiahterhadap
agama adalah fakta agama dan pengungkapannya atau dalam bahasa sederhananya
upaya menjadikan agama sebagai sasaran kehidupan dan kebiasaan keagamaan
manusia ketika mengungkapkan sikap – sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan
seperti do’a, ritual-ritual, konsep-konsep religiusnya, kepercayaan terhadap
yng suci dan sebagainya. Meskipun membacakan hal-hal yang sama berbagai
disiplin mengamati dan meneliti dari aspek-aspek tertentu yang sesuaidengan
tujuan dan jangkauannya.
Persoalan agama tidak konstan akan tetapi selalu
menyesuaikan sesuai dengan kondisi social masyarakat, dalam arti keduanya
saling mempengaruhi sehingga menurut taufik Abdullah, setidaknya penelitian
agama pada umumnya bermuara pada tiga poin utama yaitu:
1. Menetapkan
agama sebagai doktrin yang berangkat dari keinginan mengetahui esensi ajaran
dan kebenaran agama, sebagai mana dilakukan oleh para mujtahid dan pemeluk
agama. Dalam hal ini kajian di dalamnya adalah ilmu-ilmu keagamaan atau juga
perbandingan agama.
2. Memahami
struktur dan dimnamika masyarakat agama, dimana agama merupakan awal dari
terbukanya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan
kebenaran hakiki yang sama dan memungkinkan berlakunya suatu patokan
pengetahuan yang juga sama. Sehingga meskipun berasal dari suatu ikatan
spiritual, para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dari
komunitas kognitif lainnya ( sosiologi, antropologi, sejarah, dan lain
seterusnya).
3. Mengungkapkan
sikap anggota masyarakat terhadap agama yang di anut (psikologi agama) jika
katagori pertama mempersoalkan substansi ajaran dengan segala refleksi
pemikiran terhadap ajaran, katagori kedua meninjau agama dalam kehidupan social
dan dinamika sejarah, katagori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak
penghadapan masyarakat terhadap symbol-simbol dan ajaran agama.
Penelitian agama tidak cukup hanya bertumpu pada
konsep agama (normative) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu social
melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak memahami
agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena ralitas harus difahami
berdasarkan konsep agama yang di fahami, berangkat dari permasalahan tersebut,
pendekatan-pendekatan metodologis dalam study atau kajian tentang agama secara
terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam
perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau
berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu seperti sejarah, filsafat,
psikologi, antropologi, sosiologi termasuk juga fenomenologi . pendekatan yang
diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah pendekatan
fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan untuk
memahami esensi (makna) dan atau melalui menifestasi fenomena keagamaan dari
agama tertentu.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas, maka timbullah beberapa
permasalahan yaitu:
1.2.1
Apa pengertian dari fakta agama?
1.2.2
Apa yang
dimaksud dengan islam popular dan islam formal?
1.2.3
Bagaimana
fenomena dalam keberagamaan?
1.2.4
Apasaja
langkah-langkah operasional fenomenologi dalam agama?
1.2.5
Apasaja sisis positif dari fenomenologi agama?
1.2.6
Apasaja sisi
negative dari fenomenologi agama?
1.3
Tujuan
Masalah
Tujuan dari masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.3.1
Untuk mengetahui pegertian dari fakta agama.
1.3.2
Untuk mengetahui islam popular dan islam formal.
1.3.3
Untuk mengetahui
fenomena keberagamaan.
1.3.4
Untuk mengetahui
langkah-langkah operasional fenomenologi agama.
1.3.5
Untuk mengetahui sisi positif dari fenomenologi agama.
1.3.6
Untuk mengetahui
sisi negative dari fenomenologi agama.
BAB II
PEMBAHASAN
1.2.1
FAKTA
AGAMA
Adalah fenomene yang benar-benar terjadi yang di
dalamnya terdapat beberapa pemasalahan yang belum tentu menurut agama itu
bener.
Pengalaman muslim Indonesia terhadap kenyataan
social dari masyarakat muslim didunia sangat kurang. Walaupun kita mengaku
kenal mengenal muslim diwilayah lain, pngetahun mereka baru terbatas pada
kenyataan bahwa mereka adalah sesame muslim. Tapi jika ditanyakan tentang
keadaan social dan budaya mereka, nampaknya tidaklah banyak yang mereka ketahui
hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang memperhatikan masalah
social budaya di Negara-negara muslim, misalnya saja bagaimana keadaan islam di
iran dan bagai mana islam bertindak dengan budaya Persia, kurang sekali
dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan social budaya wilayah muslim
didunia cukup banyak buku-buku yang ditulis oleh antropologi tentang mereka cukup
banyak.
Kenyataan diatas menunjukkan bahwa kajian agama
dengan manggunakan perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih memahami
realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam perspektif lintas budaya
sangat bergina untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas.
Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap
menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian
lintas budaya juga akan memberikan informasi tentang berapa realitas agama
tidak bisa steril dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya
disini akan dibahas islam di asia tenggara.
Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu
area kajian, islam diasia Tenggara dan di Indonesia khususnya pada awalnya
tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, dengan
memakai ukuran apapun islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas muslim
penting, tidak saja karena jumlah penduduk muslim yang hamper separuh dari
penduduk dunia islam dengan Indonesia yang mencapai 80% dari 200 juta, tapi
juga karena perkembangan islam di Asia tenggara termasuk paling mengesankan,
jik pada decade 1980-an islam di Asia tenggara tidak diliriksama sekali
misalnya di ungkapkan oleh denis Lombard ataupun dianggap sebagai sebagai bukan
islamsebenarnya karena Ari sinkretik yang begitu menonjol, sekarang islam di
Asia Tenggara menjadi perhatian Khusus. Beberapa alasan mengapa islam di Asia
Tenggara mendapat perhatian. Pertama, perkembangan islam diasia tenggara
mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana Global dunia. Kedua, corak
pendidikan para intelektual muslimdi Asia tnggara lebih menerima ide-ide ilmu
social yang berkembang di barat. ketiga,
Islam di Asia tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut budaya
loka yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, social dan intelektual antara
budaya lokal dan Islam.
Kajian tentang agama dan bdaya di Indonesia tentunya
dapat mengembangkan konsep-konsep di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia
menawarkan suatu kenyataan realitas keagamaan tetapi lebih dari itu Islam di
Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal. Pertama, mdel untuk
menjebatani antara budaya local dan Islam mengingat Indoneisa terdiri dari
beberapa ethnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah
akan memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam local di Indonesia mungkin bisa dijadikan model
bagimana Negara Islam menerima ide-ide global. Missal saja pengalaman Indonesia
dalam berdemokrasi akan sangat berarti bagi dunia muslim lainya.
1.2.2
ISLAM
POPULER DAN ISLAM FORMAL
Berikut ini walaupun tidak baru akan dipaparkan
beberapa alternative model riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti
Islam,utamanya dalam hubungannya dengan budaya.
Konsep islam popular dan islam formal diadopsi dari
konsep popular rellegion and official rellegion yang berkembang di agama-agama
yang mempunyai system pendekatan yang berjenjang serta mempunyai “office”
kekuasaan untuk menentukan kebenaran suatu pengalaman agama. Konsep seperti ini
dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai system
ekslestikal pendeta, dimana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran
suatu pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan
kependetaan inilah yang dianggap sebagai suara resmi “official” gereja tentang
praktekagama yang benar. Tenpa persetujuan dari dewan kependetaan, maka suatu
pengalaman keagamaan dalam kategori kedua ini adalah praktek-praktek keagamaan
yang bercampur dengan tradisi local/bahkan pengalaman dari tradisi-tradisi
keagamaan local sebelumnya dating Kristen. Karan kebanyakan kalangan awam yang
melakukan kegiatan keagamaan model ke dua ini, maka julukan popular rellegion
dipakai walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu
lemabag yang dapat mengkalim kebenaran suatu pengalam agama, sifat dr keputusan
lembaga ini tidak dapat mengikat semua muslim. Hal ini jelas berbeda dengan
tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai ukuran populer adalah praktik keagamaan
yang telah bercampur dengan tradisi local, dalam Islam tentu sulit untuk
menemukan suatu pengalaman keagamaan yang tidak dipengaruhi oleh tradisi local.
Disamping itu, karena bervariasi maka tidak ada
suatu paradigm tunggal yang dipakai untuk menghakimi mana yang official dan
populer. Dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka
itu untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum bahwa populer Islam itu
berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah
atau masyarakat secara mayoritas.
Jaques waardenburg memakai populer islam untuk
meneliti dua hal. Pertama, memakai
konsep populer Islam untuk merujuk praktik-praktik keagamaan yang bersifat
local. Seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk
menghormati kehidupan sufi dan tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan semacam ratu
adil, tokoh agama tertentu dan sebagainya.
Ernest Geller dalam kajiannya menunjukkan bahwa dua
kategori tentang kajian populer dan official tersebut dapat diartikan dengan
perwujudan dari dua tradisi. Yaitu little tradition dalam Islam yang dalam
bentuknya terliahat jelas dalam praktik sufi/pengalaman keagamaan yang berpusat
pada tokoh-tokoh kahrismatik.
Sementara itu official Islam tercermin dalam
kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berpikir formal dan legalistic
yang dikategorikan Geller sebagi muslim yang lebih berorientasi pada syari’ah.
1.2.3
FENOMENA
KEAGAMAAN
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia.
Fenomenologi berasal dari kata “phainein” yang berarti memperlihatkan. Menurut
Hadiwijoyo, kata fenomena berarti “penampakan”, seperti: demam, meriang, pilek,
yang menunjukkan fenomena gejala penyakit.
Selma ini belum ada laporan penelitian dan kajian
yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang
agama. Walaupun perinstiwa social telah mengubah orientasi dan makna agama, ha
itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga
kajian tentang agama akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting,
pernyataan bahawa agama adalah suatu fenomena abadi. Di sisi lain juga
memberikan gambaran bahwa agama tidak akan lepas dari pengaruh realitas di
sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat
dikembangkan oleh doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan
lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realita budaya terlihat
sangat jelas dalam praktik-praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya:
perayaan idul fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman, bersilaturrahmi
kepada yang lebih tua.
Di Indonesia Islam menjelma menjadi agama yang
sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh
gairah. Perbedaan manifestasi agama ini menunjukkan betapa realita agama sangat
dipengaruhi oleh lingkungan budaya. Perdebatan dan perselisihan dalam
masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi dan
merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengalaman. Agama yang sesuai dengan
konteks budaya dan social. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang
hubungan politik dan agama yang
dikatikan denagn persolan kekuasaan dan suksesi kepemimpianan adalah persoalan
keseharain manusia dalam hal ini interpretasi agama dan pengunaan simbol-simbol
agama untuk kepanringan kehidupan manusia sehingga peran dan makan agama akan
beragama sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari
tentang manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antroplogi
mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk memahami perbedaan
kebudayaan manusia dan interksi sosialny dengan berbagai budaya. Nurcholis
Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk
memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) di
bumi, misalnya merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam islam juga
mengindikasikan bahwa persoalan utama dalam memahami Islam adalah bagaimana
memahami fenomena agama adalah aspek pengalaman keagamaan dengan
mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam
orientasi keimanan/kepercayaan obyek yang diteliti. Pendekatan ini melihat
agama sebagai kompenan yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan
tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari
pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris, dan normative dengan berupaya
mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.
Menurut Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan
fenomenologi dengan penelitian agama mengakui 4 kebenaran, yaitu sensual,
logis, etik dan transendental. Hanya saja kebenaran transendental dibedakan
antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran insaniyah diperoleh
dengan menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tidak mampu
menjangkau kebenaran subtansinya. Selain itu, metode-metode ilmu alam dan bebas
nilai maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai
seperi kemanusiaan dan keadilan.
1.2.4
LANGKAH-LANGKAH
OPERASIONAL FENOMENOLOGI
Ada enam langkah dalam tahapan pendekatan
fenomenologi dalam studi agama yang ditawarkan oleh Geradus Van de Leeuw yaitu
:
1.
Menhkalsifikasikan
fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen,
tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata/tulisan suci, festival dan mitor. Hal
ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.
Melakukan
interpolasi dalam kehidupan peneliti, dari ari seorang peneliti dituntut untuk ikut
membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk
memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.
Melakukan
“epoche” atau menudan penelaian dengan cara pandang netral.
4.
Mencari hubungan
structural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman yang
holistic tentang aspek terdalam suatu agama.
5.
Tahapan-tahapan
tersebut menurut Van der Leeuw secar alami akan menghasilkan pemahaman yang
asli berdasarkan “realitas”/manifestasi dari sebuah wahyu.
6.
Fenomenologi
tidak berdiri sendiri akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan yang
lain untuk tetap menjaga obyektifitas.
Manusia persolan-persoalan yang dialami manusia
adalah persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan pada
dasarnya adalah pergunulan keagamaan. Para antropologis menjelaskan keberadaan
agama dalam kehidupan manusia, dengan membedakan apa yang meraka apa yang
mereka sebuat sebagai “common sense dan religious/mystical event” dalam satu
sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan
dengan pertimbangan rasioanal ataupun dengan bantuan teknologi. Sedangkan
religious sense adalah kegiatan/kejadian yang terjadi di luar jangkauan
kemampuan nalar maupun teknologi.
Menurut emile Emile Durkhein tentang fungsi agama
sebagai penguatan social, atau Sigmund Frend yang mengungkapkan posisi penting
agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesunguhnya mencerminkan
betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari
pula bahawa usaha-usaha manusia untuk menafikkan agma juga sering muncul dan
juga fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini, usaha untuk memahami
agama dan menegaskan eksistensi agama, sesungguhnya menggambarkan betapa kajian
tentang agama adalah persolan universal manusia. Oleh karena itu, antropologi
sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat memahami realitas
kemanusiaan dan memahami islam yang telah dipraktikkan yang menjadi gambaran
sesungguhnya dari keberagaman manusia.
Di Indonesia usaha para antropologi untuk memahami
hubungan agama dan social telah banyak dilakukan. Pandangan Greertz yang
mengungkapkan tentang adanya trikotomi abangan, santri dan priyayi di dalam
masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan
analisis baik tentang hubungan antar agama dan budaya, ataupun hubungan antara
agama dan politik.
Teori politik aliran menurut Bahtiar Effendy
memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama,
khususnya Islam dan Negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk
memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar pengelompokan religion-sosial
di Inodonesia. Pengelompokan social tersebut mempengaruhi pola interaksi
politik yang lebih luas di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan
ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana
tersendiri tentang huungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang
melihat langsung secara detail hubungan antara agama dan masyarakat secara
luas. Antropologi yang melihat secara langsung secara detail hubungan anatar
agama dan masyarakat dalam tataraan grassrot memberikan informasi yang
sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat menurut
antropologi adalah melihat bagimana agama dipraktekkan, diinterpretasikan dan
diyakini oleh penganutnya, jadi pembahasan tentang hubungan agma dan budaya
sangat penting untuk melihat agama yang dipraktekkan.
Agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang
khusus bagi manusia yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan
yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi
kajian Islam untuk lebih melihat agama terpengaruh oleh budaya dalam praktik
Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan sebuah
kajian Islam yang lebih empiris. Artinya kajian agama harus diarahkan pada
pemahaman aspek-aspek yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat
diarahkan ke dalam 2 aspek yaitu, manusia dan budaya. Pada dasarnya agama
diciptakan untuk membantu manusia agar dapat memenuhi keinginan-keinginan
kemanusiaannya dan sekaligus mengarah kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini
jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris
adalah tentang manusia, tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama
tidak akan menjadi sempurna.
1.2.5
SISI
POSITIF DARI FENOMENOLOGI AGAMA
Fenomenologi agama merupakan sebuah gerakan
pengembangan dalam pemikiran dan penelitian diman peneliti mencoba memahami
manusia dan mengklasifikasikannya. Beberapa
poin yang dianggap sebagai sisi positif dari fenomenologi agama, antara lain :
1. Fenomenologi agama
berorientasi pada factual deskriptif, di mana tidak concern pada penilaian
evaluative akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena
keagmaan. Seperti, ritual, symbol, ibadah (individual mapun
seremonial) , teologi (lisan atau tulisan), personal yang dianggap suci, seni
dan sebaginya.
2. Tidak
berusaha menjelaskan fenomena yang dideskripsikan terlebih membakukan
hukum-hukum universal untuk memprediksikan persoalan-persoalan keagamaan di
masa depan akan tetapi untuk mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap
persoalan keagamaan.
3. Perbandingan
dalam pengertian terbatas diimana mengkomporasikan berbagai tradisi keagamaan,
namun fenomenologis tidak berusaha menyamakan/mengunggulkan salah satu tradisi
keagamaan tertentu.
4. Menghindari
reduksionisme ddalam arti murni memahami fenomena keagamaan dalam term
sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan
kompleksitas pengalam manusia, memaksakan nilai-nilai social pada isu-siu
transcendental dan mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi
keagamaan.
5. Menuda
pertanyaan tentang kebenaran dalam hal ini mengembangkan awasan terhadap esensi
terdalam suatu pengalaman keagamaan. Fenomenologi beruapaya
terlibat/berpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman asli
6. Terakhir
mengembangkan struktur esesnsial dan makan sebuah pengalaman keagamaan.
1.2.6
SISI
NEGATIF FENOMENOLOGI AGAMA
Terlepas dari berbagai berbagai kelebihan pendekatan
fenomenologi terdapat beberapa kesulitan untuk memahami esensi dari suatu
pengalam keagamaan dan manifestasi. Dalam hal ini ada beberapa ktirik terhadap
fenomenologi agama, antara lain:
1.
Peranan
Deskriptif
Fenomenologi agma mengklaim pendekatanya deskriptif
murni yang resisten terhadap campur tangan peneliti, namun tidak mustahil
seseorang fenomenolog memiliki kepentingan maksud-maksud tertentu dan dalam
mengkontrol data-data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini kurang tepat
jika fenomenologi dikalim sebagai pendekatan deskriptif murni.
2.
Melihat
peristiwa keagamaan tanap melihat akar historisnya. Fenomenologi agama dinilai
cenderung memperlakukan fenomena kegamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah
sejarah tidak diperlukam dalam menentukan relasi fakta-fakta fenomena bagi
praktisi agamawan. Dalam prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak mampu
mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang dikajinya.
3.
Persoalan empati
adaya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntunan untuk
berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual kegamaan.
BAB
III
PENUTUP
1.1. KESIMPULAN
Fenomenologi agama meruapakan sebuah gerakan
pengembangan pemikiran dan penelitian di mana peneliti mencoba memahami manusia
dan mengklasifikasi kan fenomena secara spesfik termasuk fenomena keagamaan.
Faktor agama sendiri merupakan suatu atau sebuah
fenomena yang benar-benar terjadi yang di dalamnya terdapat beberapa
permasalahan yang belum tentu menurut agama benar.
Posisi penting manusia dalam memahami Islam
mengidentifikasikan bahwa persoalan uatama dalam memahami Islam adalah
bagiamana cara untuk memahami Islam adalah bagaimana cara untuk memahami
manusia. Dengan demikian memahami Islam
yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa
memahami manusia. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami
realitas kemanusiaandan memahami Islam yang tekah dipraktikkan Islam that is practiced yang menjadi
gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
-
ABDULlah, M.
Amin,”relivasi study Agama-agama dalam milenium ketiga” dalam amin Abdullah dkk.,
mencari islam (studi studi dengan berbagai pendekatan), Yogyakarta: Tira
Wacana, 2000
-
Mudzhar, M.
Atho’, pendekatan studi islm dalam teori dan praktek, Yogyakarta: pustaka
pelajar. 2004.
-
Muhti
AQli”penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto sumadi, penelitian Agama.
Masalah dan pemikiran, Jakarta : Sinar Harapan, 1982.
-
Nasution,
khoruddin,”pembidangan ilmu dalam studi islam dan kemungkinan pendekatannya”
dalam amin Abdullah dkk, Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 2002.
-
Mariasusai,
Dhavamony, Fenomenologi Agama, Tim studi Agama, Drikarya, Yogyakarta :
kanisius, 1995.
-
Taufik Abdullah,
kata pengantar dalam Taufik Abdullah Dan M, Rusli karim.(Ed), Methodelogi
penelitian Agama ; suatu pengantar, Yogyakarta : Tiem Wacana, 2004.
-
Http//en.wikipidia.org/phenomenology
of religion, dikutip 6 januari 2011.
-
Shidiqi,
Nourouzzaman,”sejarah : pisau bedah ilmu keislaman” dalam Taufik Abdullah (Ed),
Metodologi penelitian Agama, sebuah pengantar, Yogyakarta : Tiara wacana,
1991.
No comments:
Post a Comment