Makalah
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah
“Ushul Fiqh”
Dosen Pembimbing :
Muh.Zuhal ma’ruf ,M,Pd.I
Disusun Oleh :
M. Kiromul Muslim
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
(STAIM)
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi ada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut.
Oleh karena itu, agar kita semua dapat memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Qur’an, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca mengenai ushul fiqih. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai Pengertian Muthlaq, Muqoyyad, Dhohir, Khofi, Dholalah, Manthuq, Mafhum dan permasalahannya
B. Rumusan masalah
berdasarkan latar belakang diatas maka dapat kami rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Muthlaq, Muqoyyad, Dhohir, Khofi, Dholalah, Manthuq, Mafhum dan permasalahannya ?
C. Tujuan Pembahasan
berdasarkan rumusan masalah diatas maka Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui Pengertian Muthlaq, Muqoyyad, Dhohir, Khofi, Dholalah, Manthuq, Mafhum dan permasalahannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muthlaq, Muqoyyad, Dhohir, Khofi, Dholalah, Manthuq, Mafhum dan permasalahannya
1. Pengertian Muthlaq dan Muqayyid
Menurut bahasa, muthlaq artinya lepas, tidak terikat. Sedangkan menurut istilah adalah :
المطلق هو مادلّ على فرد أو أفراد شائعة بدون قيد مستقلّ لفظا
” Muthlaq ialah lafadh yang menunjukkan satu atau beberapa yang tidak tertentu dengan tanpa batasan ( qayyid ) berbentuk lafadh yang berdiri sendiri.”
Jadi muthlaq itu suatu lafadh yang berdiri sendiri tidak terikat dengan syarat, sifat atau ketentuan yang lain, seperti lafadh رجل yang artinya seorang laki – laki.
Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami, tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
Seperti firman Allah SWT :
ãÌóstGsù 7pt7s%u
Artinya: “Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya”(QS. Al-mujadalah :3)
Kata raqabah (hamba sahaya) dalam ayat di atas mencakup budak secara keseluruhan (mutlak). Cakupan kata ini tidak terbatas pada satu budak tertentu. Kata ini tidak pula mensyaratkan agama budak tersebut. Jadi, bisa budak mukmin atau budak kafir.
Muqayyad menurut bahasa artinya tidak terlepas atau terikat. Menurut istilah adalah :
المقيد هو مادلّ على فرد أو أفراد شائعة بقيد مستقلّ لفظا
”Muqayyad ialah lafadh yang menunjukkan satu atau beberapa yang tidak tertentu dengan batasan ( qayyid ) berbentuk lafadh yang berdiri sendiri.”
Dengan kata lain, muqayyad itu merupakan suatu lafadh yang tidak tertentu yang di ikat dengan lafadh yang lain.
Misalnya: ungkapan meja menjadi “meja hijau”, rumah menjadi “rumah sakit”,jalan menjadi “jalan raya”. Kata-kata rumah, jalan dan meja ini sudah menjadi muqayyad karena menunjukan pada pengertian/makna tertentu dan dikaitkan atau diikatkan dengan kata lain.
Contoh dalam al qur’an misalnya kata raqabah yang telah dibatasi dengan kata mu’minah sehingga menjadi “ raqabah mu’minah ” mengenai kifarat pembunuhan :
Seperti firman Allah SWT
ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB
Artinya: “Maka (hendaklah pembunuhan itu) Memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin” (An-Nisa:92)
Kata budak mukmin (raqabah mu’minah) dalam ayat di atas tidak sembarangan hamba sahaya, tetapi hanya hamba sahaya yang beriman.
Hal-Hal Yang Diperselisihan Dalam Mutlaq Dan Muqayyad
a. Kemutalaqan dan kemudayyan terhadap pada sebab hukum, namun masalah (Maudhu’) dan hukumnya sama, menurut jumhur ulama dari kalangan syafi’iyah, malikiyah dan hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad, oleh sebab itu, mereka tidak mewajibkan zakat fitnah kepada hamba sahaya, sedangkan ulama harfiyah tidak membawa lafazh mutlaq pada muqayyad, oleh sebab itu ulama hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
b. Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya namun sebabnya berbeda, masalah ini juga di perselisihan, menurut ulama hanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya.
2. Pengertian Dhohir
Penjelasan tentang dhahir atau (dharirud dalalah) adalah termasuk pembicaraan tentang lafadz ditinjau dari segi terang atau tidaknya arti yang terkandung di dalamnya. Menurut para ulama' ushul figih, dharirud dalalah atau juga disebut dengan wadhihud dalalah ialah lafadz yang menunjukkan kepada ketegasan arti yang dimaksudkan secara jelas dalam lafadz itu sendiri, tidak tergantung sesuatu hal di luar lafadz tersebut.
Dengan kata lain dharirud dalalah lafadz yang terang arti yang ditunjuki, sehingga untuk sampai kepada arti tersebut tidak perlu adanya sesuatu bantuan di luar lafadz itu. Dilihat dari tingkat terangnya lafadz itu dalam menunjukkan kepada arti yang dimaksudkan, maka dharirud dalalah di bagi menjadi empat macam. Tetapi yang kami bahas hanya pada dhahir saja.
Dhohir ialah suatu lafadh yang mempunyai dua makna, tetapi lebih cenderung pada salah satu makna saja.
Misalnya lafadh يَدُ mempunyai dua arti yaitu tangan dan kekuasaan. Diantara dua makna itu, yang lebih dekat untuk digunakan adalah arti “ tangan “, karena makna tanganlah yang lebih mudah di mengerti. Sedangkan penggunaan arti “ kekuasaan “ memerlukan penjelasan dan keterangan lebih lanjut.
Dhahir ialah suatu lafadz yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa memerlukan faktor lain di luar lafadz itu dan mungkin dapat dita'wilkan dalam arti yang lain, dan juga mungkin dimasukkan. Sedangkan menurut istilah ulama' Ushul ialah nash yang dapat menunjukkan makna yang dimaksud oleh bentuk nash itu sendiri, tanpa memperhatikan pemahaman yang dimaksudkan oleh faktor luar atau bukan merupakan pemahaman atas dasar susunan asal kata, dan yang mengandung ta'wil.
Contoh firman Allah SWT
4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
" Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah". (Q.S. Al-Hasyr : 7 ).
Ayat ini jelas mewajibkan ketaatan kepada Rasulullah Saw. Dalam segala perintah dan larangannya, karena makna inilah yang segera dapat dipahami dari ayat tersebut. Hal itu juga bukan merupakan tujuan asal susunan kata, sebab tujuan asal kata ialah : apa yang oleh Rasulullah Saw datangkan kepadamu berupa harta fa'i lalu dibagikan, maka ambillah, dan apa yang dilarang Rasulullah saw untukmu dalam hal fa'i, maka jauhilah hal itu.
3. Pengertian khofi
Khofi Ialah suatu lafadz yang terang maknanya secara lahiriah tetapi pemakaiannya kepada sebagian afradnya tidaklah mudah (sulit) memerlukan pemikiran yang mendalam. Menurut ulama' Ushul khafi ialah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menetapkan arti kata itu kepada satu-satunya lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam.
Sebab timbulnya khafi ialah karena adanya sebagian satuan yang terkandung dalam lafadz itu mempunyai nama tersendiri atau sebagian satuannya mempunyai sifat-sifat tertentu yang membedakan dengan satuan yang lain . Dari sini timbullah pertanyaan : apakah dengan adanya sebagian satuannya yang mempunyai nama tersendiri atau mempunyai sifat-sifat tertentu yang membedakan dengan satuan yang lain itu, masih termasuk ke dalam arti lafadz tersebut atau tidak? Untuk memastikannya sangat sulit karena timbul kekaburan perbedaan diantara kesatuan-kesatuannya. Untuk menghilangkan ketidakterangan arti lafadz itu, diperlukan pencermatan dan peninjauan. Dengan kata lain, untuk memahami arti khafi diperlukan ijtihat para ulama'. Sebagai contoh khafi yang sebagian satuannya mempunyai nama tersendiri yaitu lafadz "Assaariqu" (pencuri) pada firman Allah SWT :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".( al Maaidah : 38 )
Lafadz "Assaariqu" (pencuri) berarti orang yang mengambil harta orang lain dari tempat penyimpanannya dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi arti ini menjadi tidak terang, jika diterapkan pada satuannya yang mempunyai nama tersendiri, misalnya pada Nubasy, yakni seorang yang mengambil kain kafan mayat dari dalam kubur. Apakah termasuk ke dalam arti lafadz Assaariq atau tidak? Para ulama' telah berijtihat untuk menghilangkan ketidakterangan arti ini. Hanya saja diantara mereka berbeda pendapat. Menurut kebanyakan ulama' Hanafiah, Nubasy tidak termasuk ke dalam lafadz Assariq, sehingga tidak dikenakan hukuman potong tangan, sebab :
a. Benda yang diambil tidak termasuk benda yang disukai.
b. Benda yang diambil tidak terdapat ditempat penyimpanan.
c. Benda yang diambil tidak ada pemiliknya bukan milik mayat dan bukan milik ahli warisnya.
Sedangkan menurut Imam Asy Syafi'I, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Abu Yusuf : nubasy termasuk ke dalam arti lafadz Assariq, oleh karena itu dikenakan hukuman potong tangan kepada yang mengambilnya. Diantara alasan yang mereka kemukakan yaitu :
1. Bahwa pengambilan benda itu dilakukan di saat sepi orang.
2. Bahwa tempat penyimpanan benda itu sangat disesuaikan dengan bendanya dan tidak ada tempat penyimpanan kain kafan bagi mayat kecuali dalam kubur.
4. Pengertian Dholalah
Dalalah Secara bahasa berasal dari kata “دلالـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دَلَّ- يَـدُلُّ” yang berarti menunjukkan dan kata dalalah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan dalalah.
Sedangkan dalalah menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dalalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dalalah atau dilalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut;
“segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’iy maupun zhanniy.”
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dalalah adalah :
كَـيْـفِـيَّةُ دَلَالَـةِ اللَّـفْــظِ عَـلَى الْمَـعْـنَى atau كَيْفِيَّةُ دَلَالَتِهِ عَلَى المُرَادِ المُتَكَلِّمِ
Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna atau penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim
Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna atau penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim
Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dalalah ialah sesuatu yang ditunjukkan.
5. Pengertian Mantuq
Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah:
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلم
“Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”.
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan “ah” atau perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum. Hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini. Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam yaitu:
1. Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”
Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
2. Adapun Mantuq ghairu sharih secara istilah adalah:
المنطوق غير صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”
Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih. Misalnya dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan seorang ayah. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.
Pembagian Mantuk
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 89.
فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari
2. Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada pentakwilan seperti firman Allah SWT surat Ar-Rahman : 27
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya: Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Wajah dalam ayat diartikan dengan dzat, karena mustahil bagi Allah mempunyai wajah yang menyerupai seperti manusia.
6. Pengertian Mafhum
Pengertian Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri. Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut
“Mafhum adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)”
Seperti firman Allah SWT.
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian yaitu:
- Mafhum Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut para ahli usul fiqh mafhum muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada 2 bagian yaitu:
a. Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b. Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram)
- Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah SWT surat Al-Jumuah ayat 9
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
1. Mafhum Shifat
Yaitu yang menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 92
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
Artinya: barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
2. Mafhum ’illat
Yaitu yang menghubungkan hukum sesuatu menurut ‘illatnya. Seperti mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
3. Mafhum ’adat
Yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 4.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُم ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
4. Mafhum ghayah
Yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
Artinya: dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
5. Mafhum had
Yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 145
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah
6. Mafhum al-Laqab
Yaitu meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu lafal terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan tertentu. Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4 yang berbunyi:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
Artinya: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku.
Dari ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.
Syarat syarat Mafhum Mukhalafah
Syarat-syaraf Mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dimukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqhi, sebagai berikut untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat:
- Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: (Q.S. Al-Isra’ Ayat 31)
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Artinya: Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan
Mafhumnya, kalu bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq yaitu: (QS. Al-Isra’ 33)
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran”
- Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 23.
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” .
Dari perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
- Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan seperti yang ada dalam hadits Rasul SAW.
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin)” tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
- Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contohnya firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid
Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri
BAB III
KESIMPULAN
Muthlaq : ialah lafadh yang menunjukkan satu atau beberapa yang tidak tertentu dengan tanpa batasan ( qayyid ) berbentuk lafadh yang berdiri sendiri.
Muqayyad : ialah lafadh yang menunjukkan satu atau beberapa yang tidak tertentu dengan batasan ( qayyid ) berbentuk lafadh yang berdiri sendiri
Dhahir : ialah suatu lafadz yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa memerlukan faktor lain di luar lafadz itu dan mungkin dapat dita'wilkan dalam arti yang lain, dan juga mungkin dimasukkan. Sedangkan menurut istilah ulama' Ushul ialah nash yang dapat menunjukkan makna yang dimaksud oleh bentuk nash itu sendiri, tanpa memperhatikan pemahaman yang dimaksudkan oleh faktor luar atau bukan merupakan pemahaman atas dasar susunan asal kata, dan yang mengandung ta'wil.
Khofi :Ialah suatu lafadz yang terang maknanya secara lahiriah tetapi pemakaiannya kepada sebagian afradnya tidaklah mudah (sulit) memerlukan pemikiran yang mendalam. Menurut ulama' Ushul khafi ialah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menetapkan arti kata itu kepada satu-satunya lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam.
Dalalah : menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash
Mantuq : adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)
Mafhum : adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Syaf’ii, 1997, Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka SetiaSyafe’i, Rachamt, 2007, “Ilmu Ushul Fiqih ”. Bandung : CV Pustaka setia
Firdaus, Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif), Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
No comments:
Post a Comment