Social Icons

Sunday, January 20, 2013

PENDIDIKAN KARAKTER


 PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN


Pendidikan diyakini sebagai bagian fundamental dalam menciptakan kemanjuan dan peradapan suatu bangsa. Kemajuan dan peradapan sebuah Negara tentu dapat diwujudkan jika pribadi-pribadi yang menghuni Negara tersebut memilik karakter, keilmuan dan ketrampilan yang selaras dengan tujuan suatu Negara tersebut. Dengan dasar ini selanjutnya pendidikan diangap sebagai kebutuhan dasar setiap individu, sehingga dalam setiap Negara berupaya bagaimana setiap warganya mendapatkan hak atas pendidikan yang dalam tataran kebijakan akhirnya muncul kebijakan pendidikan gratis.
Sejalan perjalanan bangsa Indonesia, secara kuantitas jumlah lembaga pendidikan di Indonesia baik lembaga pendidikan formal, informal maupun nin-formal terus meningkat. Hal ini seharusnya menjadi proses akselari terhadap tercapainya pendidikan nasional, yaitu "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." (UUD 1945 pasal 31 ayat 3). Namun fenomena lain justru terlihat berbalik berdasarkan beberapa sumber semenjak krisis moneter 1997 yang menimpa Indonesia, Indonesia menglami rentetan krisis, yaitu krisis moral serta krisis kepemimpian.
Sajian berita tentang kriminalitas semakin sering mewarnai media Indonesia, tawuran pelajar, anarkisme demonstrasi mahasiswa, terorisme, korupsi, mafia hukum, pembunuhan seorang Ibu/Bapak oleh anaknya, pelecahan seksual yang menjadikan subyek sekaligus obyek anak-anak di bawah usia, kejahatan-kejahatan yang dimulai dari perkenalan di dunia maya dan lain sebagainya. Semua fenomena yang begitu memperihatinkan sekaligus merisaukan bagi seluruh warga Negara republik Indonesia, kenapa semua ini terjadi. Kenapa pelajar yang dulu terlihat begitu lucu dan penuh prestasi bisa berubah menjadi brutal, kenapa pejabat yang seharusnya melayani masyarakat justru jadi penghisap darah rakyat dengan memakan hak-hak rakyat, kenapa teknologi yang seharusnya menjadi ruang akselerasi tujuan-tujuan mulia setiap elemen masyarakat justru menjadi media kriminalitas, kenapa seorang anak yang seharusnya melindungi dan melayani orang tuanya justru karena alasan sepele tega membunuh orang tuanya, ada apa dengan penduduk negeri ini?seolah semua penghuni negeri ini mengalami frustasi, depresi, keputusasaan serta saling curiga.
Dari beberapa literature yang mengkaji problem social ini memberikan sebauah bacaan kenapa kondisi masyarakat semacam itu. Globalisasi, kemajuan teknologi dalam masyarakat modern membuka sekat antara ruang dan waktu sehingga seolah dunia inimenjadi satu tidak ada lagi pemisah, pertukaran, percampuran dan pengaruh budaya tidak lagi dapat dielakkan, maka jangan akhirnya pribadi-pribadi yang terlibat dalam putaran itu menjadi kehilangan identitas dirinya, dan ketika identitas diri sudah bias sangat wajar seseorang melakukan hal-hal yang diluar value system yang selama ini dipegang kukuh.
Disamping kemajuan teknologi modern secara nyata memberikan ruang persaingan yang semakin ketat, siapa yang tidak memiliki skil dan relasi akan tergilas oleh arus persaingan. Konsekwensi dari kemajuan teknologi dan modernisasi tang berupa persaingan ini yang harus kita catat tebal. Mungkin “persaingan” lah yang menjadi cikal bakal dalam beberapa problem individu yang sering kita jumpai dalam masyarakat modern. Persaingan yang kuat dan keras membuat seseorang terfokus kepada bagaimana saya bisa menang (egois), bagimana saya bisa mendapatkan dengan cepat (hedois), apa yang bisa saya tunjukkan (pragmatis) dan sehingga ketika dia gagal dalam persaingan dia kan frustasi, putus asa dan akhirnya selalu dalam keraguan(skeptis), keraguan yang sebenarnya justru membuat seseorang terpuruk dalam bayangan dan ketakutan.
Kemudian dari ini pemerintah dengan beberapa ahlim mencoba mencari terobosan bagaimana mengatasi kondisi social semacam ini, karena jika dibiarkan terlalu lama kesenjangan antara masyarakat akan semakin terasa, dan ketika kesenjangan itu sudah menjadi kenyataan maka kriminal secara otomatis akan meningkat drastis dan seseorang akan semakin menghalalkan segala cara untuk menyelamatkan diri dari arus persaingan sehingga mereka akan kehilangan hati nurani dan akal sehatnya dalam melangkah, ini lah awal kehanjuran negeri ini jika tidak segera disikapi.
Berangkat dari pembacaan terhadap kenyataan dan perkembangan globalisasi maka dalam kebijakan pendidikan beberapa tahun terakhir pemerintah menggalakkan sekolah-sekolah kejuruan guna menjawab tandangan dunia kerja yang semakin berat dan mengedepankan ketrampilan. Disamping itu, 2 Mei 2011 M. Nuh menteri pendidikan RI dalam pidatonya memproklamirkan penerapan pendidikan karakter sebagai bagian sistem pendidikan nasional, hal ini secara umum dikarenakan kenyataan bahwa dunia pendidikan nasional belum mampu mengangkat moralitas bangsa. Secara umum penerapan pendidikan karakter bertjuan bagaimana selain pendidikan nasional mampu mencerdaskan, memberikan pengetahun dan ketrampilan kepada generasi muda, pendidikan juga mampu menanamkan nilai-nilai yaitu beriman dan bertakwa; jujur dan bersih; santun dan cerdas; bertanggung jawab dan kerja keras; disiplin dan kreatif; peduli dan suka menolong. Itulah karakter bangsa Indonesia yang diharapkan secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian yakni olah hati, olah pikir. olah raga, olah rasa dan karsa.
Untuk optimalisasi peran pendidikan dalam membentuk generasi bangsa tentu dukungan dari keluarga dan lingkungan sebagai bagian dari raung pendidikan sangat penting. Bagiamana orang tua, tokoh masyarakat dan semua elemen masyarakat Indonesia, mampu memberikan keteladanan kepada generasi muda. Kenapa generasi muda sekarang sering bersikap instans dan praktis untuk mencapai sebuah tujuan karena sering kali kenyataan hidup di negeri ini menggambarkan betapa para pemimpin negeri ini mengahalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, sehingga jangan heran ketika generasi muda menjadi tidak mau berproses secara sungguh-sungguh dan sabar dalam mewujudkan keinginannya. Jangan heran ketika generasi muda berharap semua serba enak dan mudah, karena sering kali pejabat di negeri ini lebih gila dilayani daripada bersungguh-sungguh melayani masyarakat dan betapa setiap hari Televisi Indonesia mengahdirkan kehidupan-kehidupan yang glamor yang jauh dari kenyataan kehidupan masyarakat di negeri ini. Bagaimana dalam tontonan TV seorang pelajar selalu dimanjakan oleh orang tuanya, selalu dipenuhi apa yang menjadi keinginannya, seolah orang tua adalah pembantu. Maka ketika tontonan-tontanan semacam ini tetap dibiarkan bebas tanyang dan ditonton oleh anak-anak negeri ini tanpa ada pendampingan jangan heran ketika di kemudian hari anak-anak kita menjadi pribadi yang egosi, pragmatis dan hedois.
Berbagai pemberitaan kriminil di negeri ini yang semakin hari semakin meningkat jangan semata-mata dilihat sebagai kejahatan murni, tetapi coba perhatikan dengan cermat kenapa itu terjadi, secara mayoritas itu adalah bentuk dari rasa frustasi, katakutan dan keraguan akan masa depan. Mereka terobsesi dengan kehidupan yang glamor dan mudah tetapi mereka tidak mau repot dan kesulitan untuk mendapatkannya. Ini sedikit gambaran kejumutan masyarakat modern dengan kemajuan teknologi yang tidak didampingi dengan nilai-nilai agama dan moral, bagaimana sebanarnya globalalisasi dan modernisasi jika tidak disikapi dengan bijak tanpa sadar akan membentuk karakter-karakter negative dalam pribadi seseorang. Lewat tulisan ini penulis mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk turut serta peduli (jangan egois) dengan pendidikan anak dan kondisi masyarakat sekitar demi mewujudkan bangsa yang jaya dan berpradaban tinggi. 

Saturday, January 19, 2013

Pemilu Sebagai Wujud Demokrasi



 PEMILU SEBAGAI WUJUD DEMOKRASI

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah

Pendidikan Kewarganegaraan yang dibimbing

Oleh: H. Sholikhin Nasrudin SH.

Oleh:

M. Kiromul Muslim







SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL’ULA

(STAIM)

NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK

DESEMBER, 2012

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Demokrasi bukanlah tujuan, melainkan jalan yang selama ini diyakini paling menjanjikan. Sebagai prinsip sebuah sistem sosial dan politik yang paling baik saat ini demokrasi menjanjikan solusi terbaik bagi perbaikan tatanan masyarakat Indonesia.

Pemilu merupakan salah satu wujud atau (bentuk) demokrasi yang mana dalam hal ini rakyat mampu menyalurkan inspirasi serta kebebasan pendapatnya dalam menentukan wakil dari mereka (UUD ’45 pasal 23 ayat 2). Baik dan buruknya suatu Negara merupakan hasil dari pimpinanan suatu Negara tersebut, yang dipilih oleh rakyat itu sendiri, karena sesungguhnya, pemerintahan itu terjadi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.



1.2              Rumusan Masalah

Dalam makalah ini telah dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut

1.  Apa Hakikat Demokrasi?

2. Apa makna Pemilihan Umum (Pemilu) sehingga dapat disebut sebagai wujud demokrasi?



1.3   Tujuan

                        Dari rumusan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembahasan adalah:

1.      Untuk memenuhi hakekat dari demokrasi.

2.      Untuk mengetahui makna pemilihan umum sehingga  mampu disebut sebagai wujud demokrasi.







BAB 11

PEMILU SEBAGAI WUJUD DEMOKRASI



2.1     HAKEKAT DEMOKRASI

            Setelah pada pembahasan pemilu, perlu diketahui hakekat demokarasi itu sendiri. Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata dari yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein atau cratos “  yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demos cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti suatu keadaan Negara  dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertiggi  berada dalam keputusan bersama rakyat , rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakat.

Sedangkann pengertian demokrasi secara istilah atau terminolgi adalah seperti yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut:

a.       Joseph A. Suchmeter: Mengatakaan demokrasi merupakan suatu perencanaan instituanal untuk mencapai keputusan politik dimana individu - individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

b.      Sidney Hook: berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan – keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat desa.

c.       Henry B. Nayo: menyatakan demokrasi sebagai system politik merupakan suatu system yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil - wakil yang diawali secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas  prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

d.      Affan Gaffar : memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normative (demokrasi empirik) dan empirik (demokrasi empirik).



            Namun demikian, diluar perbedaan pengertian demokrasi dikalangan para ahli demokrasi, terdapat titik temu pada beragam pengertian demokrasi tersebut yakni bahwa sebagai landasan hidup bermasyarakat dan bernegara demokrasi meletakkan rakyat sebagai komponen penting dalam proses dan praktik-praktik demokrasi. Rakyatlah yang memiliki hak dan kewajiban untuk melibatkan dan untuk tidak melibatkan sendiri dalam semua  urusan social dan politik, termasuk diantaranya dalam menilai kebijakan Negara yang menganut system demokrasi adalah Negara yang diselanggarakaan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Senada dengan pemahaman ini, jika dilihat dari sudut pandang organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian Negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas  persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.

            Dari beberapa pendapat diatas dapatlah disimpulkan bahwa sebagai suatu system bermasyarakat dan bernegara hakikat demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses  social dan politik. Dengan kata lain, sebagai pemerintahan ditangan rakyat mengandung pengertian tiga hal yaitu pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by of the people) dan pemerintahan untuk rakyat (government for of the people). Tiga factor ini merupakan tolak ukur umum dari suatu pemerintahan yang demokratis, ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:

v  Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Pengakuan dan dukungan rakyat bagi suatu Negara sangatlah penting, karena dengan legitimasi politik tersebut pemerintah dapat menjalankaan ridabirikrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.

v  Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people) memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dengan bribadi elit Negara atau elit birokrasi.

v  Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for of the people) mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat umum harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis.

Demi terciptanya proses demokrasi setelah terbentuknya sebuah pemerintahan demokratis lewat mekanisme  pemilu demokratis, pemerintah berkewajiban untuk membuka saluran-saluran demokratis baik formal maupun non formal.



2.2  Pemilihan Umum (Pemilu)

                 Pemilu merupakan suatu hal yang sangat diperlukan sebagai wujud bagi tegaknya sebuah Negara yang demokratis sekaligus dapat mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaaan dalam system yang demokratis adalah adanya mekanisme pelaksanaan pemerintahan atas dasar prinsip-prinsip demokratis, mekanisme itu antara lain melalui pemilihan umum (Pemilu) yang dilaksanaakn secara teratur sertaa kompetisi yang terbuka dan sederajat diantara partai-partai politik. Maka, demokrasi menghendaki agar pemilihan wakil rakyat dan pemimpin pemerintahan menjamin adanya  peluang yang samaa bagi setiap partai dan kandidat pemimpin untuk meraih kemenangan berdasarkan pilihan bebas rakyat yang berdaulat.

Pemilu sebagai sebuah demokrasi procedural adalah sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara. Pemilu, dengan system apapun, hanya merupakan instrument untuk mewujudkan pemerintahan yang representatif dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi. Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlement dan dalam stuktur pemerintahan. Ada Negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat untuk duduk dalam parlemen, akan tetapi ada pula Negara yang juga menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para penjabat tinggi Negara.

Ada dua system pemilihan umum yaitu:

1.      Pemilihan umum system distrik; (sigle member constituency) single member distrik; mayority system, distrik system).

2.      Pemilihan umum system proposional; (multi member constituency, propotional representation system, proportional system).



Dalam pemilu system distrik, daerah pemilihan dibagi atas distrik-distrik tertentu.  Pada masing-masing distrik pemilihan, setiap Parpol mengajukan satu calon. Misalnya, 2 atau 3 kecamatan atau distrik. Partai PDI mencalonkan Megawati Soekarno Putri untuk bersaing pada distrik tersebut. Partai PKB mencalonkan Abdurrahman Wahid, dan PAN mencalonkan Amien Rais. Sedangkan dalam pemilu system proposional yang dianut di Indonesia adalah pemilu yang secara tidak langsung memilih calon yang didukungnya, karena para calon ditentukan berdasarkan nomer urut calon dari masing-masing Parpol atau  organisasi politik (Orsospol). Para pemilik memilih tanda gambar atau lambang suatu Orsospol. Perhitungan suara untuk menentukan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing partai politik ditentukan melalui perjumlahan secara nasional atau penjumlahan suatu daerah (Provinsi). Masing-masing daerah diberi jatah kursi berdasarkaan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk didaerah yang bersangkutan.

Dalam catatan sejarah kepolitikan Indonesia, pengalaman melaksanakan pemilu kurang lebih Sembilan kali (1955,1971,1977,1982,1987,1992,1997,1999,dan 2004). Pengalaman pertama adalah penyelenggara pemilu 1955 dengan system multi partai dan dikenal sebagai  pemilihan umum yang demokratis dengan tingkat persaingan antar partai yang cukup ketat. Hal itu dapat dilihat, dari empat partai besar yang muncul dari partai satu dengan partai lain dibawahnya masing-masing hanya terpaut sekitar 2 persen. Pada saat itu PNI memperoleh 22,3%, Masyumi 20,3%, NU 18,4%, dan PKI 16,3%. Pengalaman berikutnya adalah pemilu-pemilu yang diselenggarakan selama Orde Baru yang dilaksanakan sebanyak 6 (enam) kali. Dari sini melahirkan pemilu yang tidak ditandai dengan kompetisi partai. Golkar secara hegemonic paling banyak memperoleh peluang merai suara. Pada pemilu pertama masa orba tahun 1971, konten ini memperoleh 60%, lalu tahun 1987 sampai meraih 70%, meski pada pemilu-pemilu berikutnya suara golkar menurun drastic, namun tetap saja tidak member peluang  bagi pesaingnya, dalam hal ini PPP dan PDI untuk mengimbangi perolehan suara Golkar.

Melihat keadaan yang seperti itu Nampak bahwa pelaksanaan Pemilu seringkali hanya menjadi sarana formalitas politik, Pemilu hanya dijadikan alat Legitimasi pemerintahan non demokratis sedangkan pemilunya sendiri berlangsung. Akhirnya pemilu yang selama ini dilaksanakan di Indonesia, lebih menjadi ‘ritual’ demokrasi dan bukan sebagai sarana demokrasi yang dijalankan secara relative jujur, bersih, bebas, kompetitif dan adil.

Pemilu 1999, merupakan pemilu pertama yang dilangsungkan pasca pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto sekaligus merupakan pemilu kedua dengan system multipartai (setelah pemilu 1955) Pemilu ini yang tertuang dalam UU No. 3/1999, menjadi ajang untuk mencoba menerapkan system (erectoral law) dan proses pemilu (electoral proses). Pada pelaksanaannya Pemilu 1999 mencoba memenuhi persyaratan pemilu demokratis diantaranya dengan melakukan perubahan kebijakan yaitu:

1.         Kebijakan birokrasi sipil dan militer dalam menyikapi keberatan pemilu 1999 tersebut.

2.         Kebijakan mengenai pembentukan lembaga-lembaga yang mewadahi kerja pemilu berikut struktur organisasi lembaga-lembaga tersebut.

3.         Kebijakan untuk membuka pintu gerbang ketertutupan pintu demokrasi yang ditandai dengan diizinkan berdirinya partai–partai  politik serta kebebasan pers (UU. No 2/1999).



Serangkaian kebijakan pemerintah tadi memperlibatkan empat hal penting yaitu:

1.      Pemerintah memperlibatkan kesungguhan atas demokrasi yang dilakukannya pada pemilu 1999.

2.      Pemerintah mempercayakan pelaksanaan pemilu kepada KPU meski banyak yang pesimis terhadap keberadaan lembaga tersebut.

3.      Walaupun berbagai permasalahan muncul dalam kebijakan yang dibuat pemerintah untuk pemilu 1999, namun pemerintah agaknya berhasil menyakinkan rakyat bahwa pemilu merupakan satu-satunya cara untuk membentuk perwakilan rakyat (DPR/MPR) baru yang legitimate.

4.      Pemerintah mencoba untuk tidak banyak mengintervensi pemilu 1999.

Dari  penyelenggara pemilu yang ditandai dengan birokrasi dan militer yang lebih netral, selain memberikan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pemilu juga telah memungkinkan berlangsungnya system kompetitif yang lebih terbuka. Hasilnya kemudian dapat diliat yaitu dengan munculnya lima partai besar dari 48 konstetans pemilu yaitu PDI perjuangan, Partai Golkar, PKB, PPP, dan PAN. Meski jarak persaingan mereka tidak seketat kompetisi Partai pada pemilu 1955, tetapi persaingan perebutan suara begitu tajam bahkan ‘terbumbui’ oleh kampanye yang emosional dan menjurus kekerasan.

Pada pemilu 1999, telah berjalan relative aman dengan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Antusiame masyarakat  terhadap pemilu 1999 setidaknya membuktikan adanya keinginan kuat untuk menata ulang format politik formal di Indonesia pasca Orde Baru. Terlaksananya pemilu 1999 juga membutuhkan bahwa masyarakat mengakui bahwa pemilu merupakan sarana yang efektif untuk mengawali perubahan peta politik di Indonesia, yang selama Orde Baru hanya dikuasai oleh tiga partai yang secara formal diakui pemerintah.

























































BAB 111

PENUTUP



3.1              KESIMPULAN

Hakekatnya demokrasi adalah peran rakyat dalam proses social dan politik. Adapun system pemerintahannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Pemilu merupakan suatu yang diperlukan sebagai wujud bagi tegaknya sebuah Negara  yang demokratis sekaligus dapat mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dalam system yang demokratis. Melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen dan dalam stuktur pemerintahan. Ada dua system pemilu yaitu pemilihan umum system distrik dan pemilihan umum system proposional. Pada pemilu 1999 telah membuktikan bahwa masyarakat mengakui bahwa pemilu merupakan sarana yang efektif untuk mengawali perubahan peta politik di Indonesia.



3.2  SARAN 

Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang dipahami, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan saya sangat berterima kasih apabila ada saran/kritik yang sifatnya membangun sebagai penyempurna dari makalah ini.



















DAFTAR PUSTAKA



Ubaidillah, A dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat  Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatulloh.Jakarta,2006