Social Icons

Tuesday, July 24, 2012

Ahlak Tasawuf


MAKALAH
MAHABBAH DAN MA’RIFAT

Mata Kuliah
Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu
KH. Jamaludin Abdullah





Disusun oleh
Kiromulmuslim
Mitakul Korem
Nur Kholida As


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MIFTAHUL ‘ULA
NGLAWAK - NGANJUK
2012


BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri - yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Mahabbah, cinta merupakan hal penting dalam membangun kedamaian dan ketentraman. Rasa damai dan tentram adalah hal yang senantiasa di impikan oleh setiap manusia dari zaman ke zaman. Sejak zaman dulu Rabiah al-Adawiyah yang hidup ratusan tahun yang lalu sampai sekarang di era modern dan globalisasi setiap manuasia masih terus berusaha mencari kedamaian.
Tasawuf merupakan salah satu dimensi pendekatan yang digunakan Islam dalam mewujudkan rasa damai dan tentram dalam hati setiap insan. Islam yang dating dengan tujuan menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan yang hakiki kepada umat manusia telah banyak memberikan tuntutan kepada manusia lewat al-Qur’an dan al-Hadist bagaimana agar manusia bisa menemukan kebahagiaan yang hakiki. Salah satu konsepsi yang diajarakan Islam untuk kebahagian umat manusia adalah mahabbah. Maka selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas seputar tentang mahabbah serta tata cara melaksanakannya.
Dan ma’rifat adalah item yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan seseorang untuk mendakatkan diri kepada Tuhan dan meraih cinta sejati dari Tuhan.


B.       RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka penulis memfokuskan pembahasan dalam makalah ini  sebagai berikut :
1.                                                                                     apakah pengertian mahabbah ?
2.                                                                                     apakah dasar dan doktrin mahabbah ?
3.                                                                                     siapa tokoh tasawuf mahabbah ?
4.                                                                                     apakah pengertian ma’rifat ?
5.                                                                                     bagimana cara mencapai ma’rifat ?

C.      TUJUAN PEMBAHASAN
Dari latar belakang di atas maka tujuan dari pembahasan dalam makalah ini  sebagai berikut :
1.                            Mengetahui  pengertian mahabbah
2.                            Mengetahui dasar dan doktrin mahabbah
3.                            Mengetahui siapa tokoh tasawuf mahabbah
4.                            Mengetahui pengertian ma’rifat
5.                            Mengetahui bagimana cara mencapai ma’rifat

 

BAB II
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN MAHABBAH
Mahabbah secara bahasa artinya cinta, hal ini yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Lebih luas lagi mahabbah memuat pengertian :
a.    Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan membenci sifat yang melawan Tuhan
b.    Berserah kepada Tuhan
c.    Mengosongkan perasaan di hati dari segala-galanya kecuali Dzat Tuhan
Dalam al-Qur’an dapat dijumpai dalam surat al-Maidah 54
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ -٥٤
Artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan Mendatangkan suatu kaum, Dia Mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang Diberikan-Nya kepada siapa yang Dia Kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”
Aliran tasawuf mahabbah kedudukannya sejajar dengan tasawuf lainya seperti ma’rifat, al-fana dan al-baqa’. Faham tersebut sering disebut stasiun (maqamat) yang berada di atas tingkatan taubat, zuhud, sabar, tawakkal dan ridla.
Menurut ahli sufi manusia yang palaing beruntung keadaannya di akhirat ialah manusia yang paling kuat rasa cintanya terhadap Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-ahdzab ayat 4
مَّا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ -٤
Artinya : Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar  itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah Mengatakan yang sebenarnya dan Dia Menunjukkan jalan (yang benar).
B.       DASAR DAN DOKTRIN MAHABBAH
1.         DASAR-DASAR MAHABBAH
a.    Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.
Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1.    QS. Al-Baqarah ayat 165
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
2.    QS. Al-Maidah ayat 54
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
3.    QS. Ali Imran ayat 31
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.   
Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.
….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
b.   Dasar Filosofis
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
1.        Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
2.        Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.

Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
3.        Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
1. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal  Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
2.   Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
3.  Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey. 
4.    Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
5.    Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
2.         DOKTRIN TASAWUF MAHABBAH
A.      Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
B.       Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
C.       Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
D.      Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta.
Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.



C.      TOKOH TASAWUF MAHABBAH
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.



D.      PENGERTIAN MA’RIFAT
Menurut arti lughawi, ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-‘irfatan, menjadi ‘irfatatan dan ma’rifatan yang artinya mengetahui dan mengenal sesuatu dengan sesungguhnya dan sempurna. Ma’rifat tersebut dipergunakan untuk menunjukkan ilmu yang diperoleh dari proses pemahaman, pemikiran serta perenungan. Para ahli teologi, ahli hukum (fuqaha’), dan sekelompok lain orang memberi nama ma’rifat kepada pengetahuan yang benar (‘ilm) tentang Tuhan. Karenanya mereka mengatakan bahwa ma’rifat lebih utama daripada pengetahuan (‘ilm). 
Ma’rifat tersebut juga lebih spesifik dari pada kata ilmu. Yang sering dipergunakan adalah ‘Fulan mengenal Allah’ (Fulan Ya’rifullah), bukan ‘Fulan mengetahui Allah’ (Fulan Ya’lamullah) yang berbentuk transitif dengan satu obyek penderita. Sebab manusia mengenal Allah itu adalah semata dengan merenungkan tanda-tanda-Nya, dan bukannya dengan mengetahui Dzat-Nya. Dan sebaliknya, sering dipergunakan, ‘Allah mengetahui ini’ (Allah Ya’lamu Kadza) dan bukan ‘Allah mengenal ini’ (Allah Ya’rifu Kadza) adalah, karena kata ma’rifat tersebut dipergunakan untuk menunjukkan ilmu yang diperoleh dengan berpikir. 
Rasulullah bersabda : تفكروافى خلق الله ولاتفكروافى ذاته فتهلكوا
Pikirkanlah tentang keadaan makhluk Allah dan janganlah kamu memikirkan tentang zat-Nya yang menyebabkan kamu binasa” (HR. Abu Nu’aim).
Jadi antara kata ilmu dan ma’rifat tersebut dari segi lafadz dan makna memang berbeda. Sedangkan perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya adalah, bahwa ma’rifat itu merupakan ilmu yang harus dilaksankan, sehingga meliputi ilmu dan amal secara total. Namun, ma’rifat tersebut lebih banyak menyangkut aktivitas hati sebagaimana sabda Nabi SAW:
والله اني لاعلمكم بالله له خشية
Artinya: “Demi Allah! Aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah di antara kamu, dan paling takut kepada-Nya di antara kamu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan, “Sabda Rasulullah saw, ‘Akulah orang di antara kalian yang paling tahu tentang Allah,’ tersebut menunjukkan, bahwa ilmu tentang Allah itu bertingkat-tingkat. Bahwa ada sebagian orang yang lebih baik daripada yang lain. Dan di antara mereka, Nabi saw. adalah yang tertinggi derajatnya. Ilmu tentang Allah itu mengharuskan adanya pengetahuan yang berkaitan dengan sesuatu berikut sifat-sifat, hukum-hukumnya, serta hal-hal yang menyangkut semuanya. Inilah keimanan yang benar.” 

E.       JALAN MENCAPAI MA’RIFAT
Di dalam suatu dalil dikatakan bahwa :
“Awwaluddin Ma’rifatullah” (Awal mula seseorang itu beragama, ialah mengenal akan Allah)”.
Dimana seseorang itu wajib hukumnya untuk mengenal akan Allah sebagai langkah awal menuju kesempurnaan beragama. Tanpa mengenal Allah maka Ibadah apapun yang dilakukan bagaimana mungkin bisa dikatakan sampai sedangkan Tujuan nya saja tidak diketahui. Karena itu sangatlah penting sekali pengenalan akan Allah itu di dalam kehidupan ini. Dengan Mengenal akan Allah maka akan dirasakannya Manis Lezatnya ke imanan, dirasakan khusyuknya dalam Amal Ibadah serta Ketenangan Jiwa akan mengalir di dalam dirinya. Menjadikan Pribadi yang ikhlas, sabar, tawakkal serta Ridho dalam menjalani Hidup. Tentu tiada kebahagiaan yang melebihi daripada kebahagiaan para Arif billah/orang yang mengenal akan Allah
Seandainya Allah Swt membukakan akan rahasia keagungan para Arif billah, maka niscaya orang-orang akan tercengang dan terheran-heran serta takjub dibuatnya. Karena Nur yang meliputi diri para Arif billah itu akan memancar menembus sampai ke langit ketujuh. Karena itu lah Allah menutup akan diri para kekasih-kekasihNya itu, sehingga tidak ada yang mengetahui tentang dirinya melainkan hanya Allah dan mereka-mereka yang sama-sama telah sampai pada maqom Ma’rifatullah tsb.
Adapun Manusia-manusia itu untuk sampai kepada pengenalan akan Allah (Ma’rifatullah) maka terlebih dahulu ia haruslah mengenal dirinya yang sebenar-benarnya.
“Man ‘Arofa Nafsahu faqod ‘Arofa Robbahu” (Barang siapa yang mengenal akan dirinya yang sebenarnya niscaya kenal lah ia akan Allah).
Dan tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah :
  1. Menundukkan Hawa Nafsu dengan memerangi kesyirikan, kekufuran, kemunafikan, kefasikan dan kemurtadan yang ada di dalam diri dengan menjauhi kesombongan, keingkaran terhadap kebenaran, kebodohan dan ketidak pedulian tentang kebenaran.
  2. Apabila ia telah berhasil di dalam memerangi Hawa Nafsunya tadi maka ia akan di anugrahi Hidayah/petunjuk kepada jalan yang di Ridhoi Allah Swt yaitu jalan menuju kepada Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw, serta dilengkapi ia dengan sifat-sifat Muhammad Rosulullah Saw yaitu Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah serta menjadikan ia Sami’na wa atho’na.
  3. Apabila ia tetap Istiqomah pada tahapan ke-1 dan ke-2 itu maka ia akan disesuaikan oleh Allah Swt dengan Hukum Sunatullah yang berlaku di dalam kehidupan ini. Maka tetapkanlah kesabaranmu di dalam Hukum Allah Swt itu. (Tawakkal/berserah diri kepada Allah dengan meyakini bahwa apa yang terjadi atas dirinya, itu semua Qudrat Iradat Allah Swt semata). Bersabarlah! Dan pasrahkanlah dengan sebenar-benarnya, dan berlaku kasih sayanglah kepada sesama Saudara Mu’min serta menjadilah Rahmat bagi Makhluk Allah Swt yang lain. Tetapi ingatlah!!!, sesungguhnya banyak di antara orang Mu’min Hamba-hamba Allah itu yang terlena di dalam tahapan ini, artinya mereka yang takjub dan hilang kesadaran dirinya karena sangat mempesonanya keindahan-keindahan dan kemuliaan-kemuliaan Allah Swt yang dinyatakan/ditampakkan oleh Allah berupa karomah-karomah membuat ia lupa akan Allah Swt yang menganugrahkan kelebihan-kelebihan itu sehinggan Karomah itulah yang menjadi maksud dan tujuannya. Lalu lupa ia kepada tujuan yang sebenarnya yaitu Allah Swt yang menurunkan Karomah itu. Maka jatuhlah ia kepada jurang kefasikan, kembali dikuasai oleh Hawa Nafsunya. “Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah………….”. Berhati-hatilah di dalam tahapan ini!!!!, tidak ada seorangpun yang selamat dalam tahapan ini melainkan mereka yang benar di dalam memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah Swt, sehingga jadilah Allah sebagai penolongnya dan hanya Allah lah sebaik-baik penolong bagi orang-orang Mu’min.
  4. Kemudian apabila ia telah sampai kepada tahapan itu dengan selamat dan ia senantiasa di dalam kesabaran serta selalu berhati-hati di dalam Musyahadahnya (Penyaksiannya), maka akan tersingkaplah segala Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw dengan sendirinya tanpa ia memaksakan kehendaknya untuk menyingkap tirai itu. Artinya ; Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw itu sendiri yang akan datang menjemputnya untuk di bawa naik (Mi’raj) menuju Alam yang tiada Batas dan dihampirkannnya kepada Kebenaran yang membawa Rahmat yaitu Nurun Ala Nurin sumber segala hakikat-hakikat yang ada termasuk Hakikat Diri atau Hakikat Muhammad. Lalu timbul lah kecintaan yang amat sangat dalam kepada Muhammad Rosulullah Saw, rindu yang tiada habis-habisnya dan diwujudkannya di dalam gerak dan diamnya dengan Sholawat dan puji-pujian kepada Rosulullah Saw. Kecintaannya yang sangat dalam kepada Rosulullah Saw terasa nikmat sekali dirasakannya, sehingga tiada nikmat apapun yang dapat menyamai kenikmatan cinta Rosulullah Saw. Racun kerinduan rela dan ikhlas diminumnya karena kemabukkannya tiada bandingannya. Kemabukkan cinta itulah yang mengahantarkan dirinya kepada Robbul Izzati untuk berkasih-kasihan memadu cinta yang telah lama terpendam.
Ketika para Pecinta Allah sudah asyik di dalam pandang memandang, maka Allah akan mendudukan ia pada “Maqom Muroqobah” sebagai jalan terbukanya Tirai “Kebenaran Hakiki/Mukassyafaturrobbani”. Itulah Akhir dari pada pengembaraan dan perjalanan dan Itulah Puncak segala Puncak kenikmatan dan kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book dalam Program Syamilah).
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt).
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993).
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).






Friday, July 13, 2012

ALIRAN-ALIRAN KALAM


 ALIRAN-ALIRAN KALAM

I. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu ilmu keIslaman, Ilmu kalam sangat lah penting untuk di ketahui oleh seorang muslim yang mana pembahasan dalam ilmu kalam ini adalah pembahasan tentang aqidah dalam Islam yang merupakan inti dasar agama, karena persolaan aqidah Islam ini memiliki konsekwensi yang berpengarah pada keyakinan yang berkaitan dengan bagaimana seseorang harus meng interpretasikan tuhan itu sebagai sembahannya hingga terhindar dari jurang kesesatan dan dosa yang tak terampunkan (syirik).
Memang, Pembahasan pokok dalam Agama Islam adalah aqidah, namun dalam kenyataanya masalah pertama yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persolaan di bidang politik,  hal ini di dasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya persolan pertama ini di tandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu di awAli dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
Dalam pembahasan Ilmu Kalam, kita dihadapkan pada barbagai macam gerakan pemikiran-pemikiran besar yang kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa agama Islam telah hadir sebagai pelopor munculnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al-Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.

II. ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM
Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan muawiyah bin abi Sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan Kelompok Khawarij.
Lahirnya Kelompok Khawarij ini dengan berbagai pendapatnya selanjutnya, menjadi dasar kemunculan kelompok baru  yang dikenal dengan nama Murji’ah. lahirnya Aliran teologi inipun mengawali kemunculan berbagai Aliran-Aliran teologi lainnya. Dan dalam perkembangannya telah banyak melahirkan berbagai Aliran teologi yang masing-masing mempunyai latar belakang dan sejarah perkembangan yang berbeda-beda.Berikut ini akan dibahas tentang pertumbuhan dan perkembangan Aliran tersebut berikut pokok-pokok pikiran nya masing-masing.
1. Aliran Khawarij.
1.      Pengertian dan latar belakang timbulnya Aliran khawarij
Aliran Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di sepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Kelompok ini juga kadang kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk allahdi samping itu nama lain dari khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan  Mu’awiyah.
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka  terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin.
Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada  ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-quran adalah kafir. Dengan demikian, orang yang  melakukan tahkim dan merimanya adalah kafir.
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik  menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.
1.      Tokoh-tokoh Khawarij
Diantara tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
1.      Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pimpinan Khawarij pertama)
2.      Urwah bin Hudair
3.      Mustarid bin sa’ad
4.      Hausarah al-Asadi
5.      Quraib bin Maruah
6.      Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
7.      Abdullah bin Basyir
8.      Zubair bin Ali
9.      Qathari bin Fujaah
10.  Abd al-Rabih
11.  Abd al Karim bin ajrad
12.  Zaid bin Asfar
13.  Abdullah bin ibad[4]
C. Sekte-sekte dan ajaran pokok Khawarij
Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut adalah:
1.      Al-Muhakkimah
2.      Al-Azariqah
3.      Al-Najdat
4.      Al-baihasyiah
5.      Al-Ajaridah
6.      Al-Sa’Alibah
7.      Al-Ibadiah
8.      Al Sufriyah
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:
1.      Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
2.      Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
3.      Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat. 
4.      Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
5.      Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
6.      Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
7.      Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).
2. Aliran Murji’ah
1.      Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena hanya tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada tuhansealin allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mangucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.[8]
Pandangan mereka itu terlihat pada kata murji’ah yang barasal dari kata arja-a yang berarti menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan.
Hal-hal yang melatarbelakangi kehadiran murji’ah antara lain adalah : 
1.      adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij; mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan ali dan mengakfirkan orang- yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang siffin.
2.      adanya pendapat yang menyalahkan aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
3.      adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan. 
1.      Ajaran-ajaran Murji’ah
1.      Ajaran-ajaran pokok murji’ah dapat disimpulan sebagai berikut: .
2.      Iman Hanya membenarkan (pengakuan) di dalam Hati
3.      Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadt.
4.      Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat
1.      Tokoh dan sekte dalam murji’ah
Dalam perkembangannya, Murji’ah mengalami berbagai perbedaan pendapat dikalangan pengikutnya yang mendasari lahirnya aliran-aliran, selanjutnya, aliran murji’ah ini terpecah menjadi beberapa macam sekte, ada yang moderat, ada pula yang ekstrem.
Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusufdan beberapa ahli hadits, yang berpendapat, bagaimanapun besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari tuhan masih ada. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang itu tidak dihukum kafir.
3. Aliran Qadariyah
1.      Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qada Tuhan
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M). Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan kedunya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT.
Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan al Dimasyqi. Kedua tokoh ini yang mempersoalkan tentang Qadar.
1.      Pokok-pokok ajaran Qadariyah
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran qadariyah adalah :
1.      Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu masuk neraka secara kekal.
2.      Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
3.      Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
4.      Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk. 
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang jelas di dalam Al-Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah .
Dalam surat Al Ra’ad Ayat 11, di jelaskan
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr’Î/ 3
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka   merobah keadaan diri mereka sendiri”
Dalam Surat Al-Kahfi ayat 29, allah menegaskan
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Dengan demikian paham qadariyah memilki dasar yang kuat dalam islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai paham ini sesat atau kelaur dari islam
4. Aliran Jabariyah

1. Pengerian, dan latar belakang Kemunculan jabariyah.
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebutkepada Allah.[18] Dan dalam bahasa inggris disebut dengan fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia di tentukan sejak semula oleh qada dan qadar tuhan.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam datangke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak tuhan.
Munculnya mazhab ini berkaitan dengan munculnya Qadariyah. Daerah kelahirannya pun berdekatan. Qadariyah muncul di irak, jabariyah di khurasan. Aliran ini pada mulanya di pelopori oleh al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam perkembangannya. Aliran ini di sebarluaskan oleh jahm bin Shafwan. Karena itu aliran ini terkadang disebut juga dengan Jahmiah.
1.      Pokok-pokok paham jabariyah.
Selanjutnya, yang menjadi dasar yang sejajar dengan pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al-Qur’an diantaranya :
Dalam surat al-saffat ayat 96 :
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Dalam surat al Insan ayat 30, dinyatakan
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ÇÌÉÈ…
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.
Jaham bin Shafwan mempunyai pendirian bahwa manusia itu terpaksa, tidak mempunyai pilihan dan kekuasaan. Manusia tidak bisa berbuat lain dari apa yang telah di lakukannya. Allah SWT, telah mentakdirkan ats dirinya segala amal perbuatan yang mesti di kerjakannya, dan segala perbuatan itu adalah ciptaan allah, sama seperti apa yang dia ciptakan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, jaham menginterpretasikan bahwa pahala dan siksa merupakan paksaan dalam arti bahwa allah telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus memberi pahala dan allah telah mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus juga menyiksanya.
Sehingga, dalam realisasinya, orang yang termakan paham ini bisa menjadi apatis dan beku hidupnya, tidak bisa berbuat apa-apa, selain berpangku tangan, menunggu takdir Allah semata-mata dan berusahapun tidak. Karena mereka telah berkeyakinan bahwa allah telah mentakdirkan segala sesuatu, dan manusia tidak bisa mengusahakan sesuatu itu.
Disisi lain, aliran ini tetap berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Berkenaan dengan itu perlu dipertegas bahwa Jabariyah yang di kemukakan Jaham bin Shafwan adalah paham yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad al.Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr.
Menurut Najjar dan Dirar, bahwa  Tuhanlah yang menciptakan perbuatan Manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif Tetapi dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh tuhan, mempunyai efek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatanitu.Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut Kasb atau acquisition.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang di gerakkan oleh dalang, tetapi manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu perbuatan, dan manusia tidak semata-mata di paksa dalam melaksanakan perbuatannya.
5. Aliran Mu’tazilah 
1.      Pengertian dan latar belakang munculnya Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya kedua Mu’tazilah diatas tidaklah sama dan tidak ada hubungannya karena yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang kedua muncul karena didorong oleh persoalan aqidah.
Dalam perkembangannya, Mu’tazilah pimpinan Washil bin Atha’ lah yang menjadi salah satu aliran teologi dalam islam.
1.      Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
1.      al Tauhid (keesaan Allah)
2.      al ‘Adl (keadlilan tuhan)
3.      al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
4.      al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
5.      amar mauruf dan Nahi mungkar.
1.      Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Diantara para tokoh-tokoh yang berpengaruh pada Mu’tazilah yaitu:
1.      Washil bin Atha’
2.      Abu Huzail al-Allaf
3.      Al Nazzam
4.      Al-Jubba’i[23]
6. Ahlussunah Wal- Jamaah 
1.      Pengertian dan para tokoh serta pemikiran-pemikiran mereka.
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) nabi dan para sahabat beliau.
Ahlussunnah sering juga disebut dengan Sunni dapat di bedakan menjadi 2 pengertian, yaitu khusus dan umum, Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syiah, Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagai mana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalambarisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.
Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan maturidiyah,dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu al hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.
a. Abu al Hasan al Asy’ari
1. Pokok-pokok pemikirannya
  • Sifat-sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Alqur’an, yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
  • Al-Qur’an, Manurutnya, al-Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
  • Melihat Tuhan, menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
  • Perbuatan Manusia. Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri.
  • Antrophomorphisme
  • Keadlian Tuhan, Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab tuhan maha kuasa atas segalanya. 
  • Muslim yang berbuat dosa. Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.
1.      Abu manshur Al-Maturidi
1.Pokok-pokok pemikirannya :
  • Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari 
  •  Perbuatan Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu sendiri, dan bukan merupakan perbuatan tuhan. 
  • Al Quran. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari 
  • Kewajiban tuhan. Menurutnya, tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. 
  • Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
  • Janji tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan janji tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.
  • Antrophomorphisme. 
7. Aliran Syiah 
1.      Pengertian dan kemunculannya Syi’ah
Secara bahasa Syi’ah berarti pengikut. Yang dimaksud dengan pengikut disini ialah para pendukung Ali bin Abi Thalib. Secara istilah Syi’ah sering di maksudkan pada kaum muslimin yang dalam bidang spritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturuan Nabi Muhammad SAW, atau yang sebut sebagai ahl al-bait.selanjutnya, istilah yiah ini untuk pertama kalinya di tujukan pada para pengikut ali (syi’ah ali), pemimpin pertama ahl- al bait pada masa Nabi Muhammad SAW.
Para pengikut ali yang disebut syi’ah ini diantaranya adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad dan Ammar bin Yasir.
Mengenai latar belakng munculnya aliran ini, terdapat dua pendapat, pertama menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affankemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun menurut Watt, Syi’ah bener-bener muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali –kelak  di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di sebut Khawarij.
1.      Pokok-Pokok Pikiran Syi’ah
Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib di percayai oleh penganutnya. Kelima prinsip itu adalah :
1.      al Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu ada, Maha esa, tunggal, tempat bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.
1.      al ‘adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
1.      al Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutussejumlah nabi dan rasul ke muka bumi untnk membimbing umat manusia.
1.      al imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
1.      al ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
8. Aliran Salafiyah 
1.      Pengertian dan latar belakang munculnya Salafiyah
Secara bahasa salafiyah berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu, yang dimaksud terdahulu disini adalah orang-orang terdahulu yang semasa Rasul SAW, para sahabat, para tabi’in, dan tabitt tabi’in. sedangakan salafiyah berarti orang-orang yang mengikuti salaf.
Istilah salaf mulai dikenal dan muncul beberapa abad abad sesudah Rasul SAW wafat, yaitu sejak ada orang atau golongan yang tidak puas memahami al Qur’an dan hadits tanpa ta’wil, terutama untuk menjelaskan maksud-maksud tersirat dari ayat-ayat al-Qur’an  sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah SWT.
Orang yang termasuk dalam kategori salaf adalah orang yang hidup sebelum tahun 300 hijriah, orang yang hidup sesudah tahun 300 H termasuk dalam kategori khalaf.

1.      Tokoh-tokoh ulama salaf dan perkembangan Aliran salafiyah.
Tokoh terkenal ulama salaf adalah Ahmad bin Hambal. Nama lengkapnya, Ahmad, bin Muhammad bin Hambal, beliau juga di kenal sebgai pendiri dan tokoh mazhab Hambali. .
Tokoh salafiyah yang terkenal lainnya adalah Taqiyuddin Abu al Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abd al salam bin Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah al Hambali, atau yang lebih di kenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Beliau merupakan seorang teolog dan ahli Hukum yang banyak menghasilkan karya tulis.beliau juga ahli di bidang tafsir dan hadist.
Dalam perkembangannya, ajaran yang bermula pada Imam Ahmad bin Hanbal ini, selanjutnya di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah, kemudian di suburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab.dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara Spodaris.
Pada abad ke 20 M gerakan ini muncul dengan dimensi baru. Tokoh-tokohnya adalah Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Salafiyah baru al afgani ini terdiri dari 3 komponen pokok yakni :
1.      Keyakinan bahwa kemajuan dan kejayaan umat Islam hanya mungkin di wujudkan jika mereka kembali kepada ajaran Islam yang masih murni dan kembali pada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pokok hidup sahabat Nabi. Komponen pertama ini merupakan satu unsur yang di miliki oleh salfiyah sebelumnya.
2.      perlwanan terhadap kolonialisme dan mominasi barat, baik politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
3.      pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Al Afgani dapat di katakan sebagai penganut salafiyah modern karena dalam rumusan pahamnya  yang banyak meletakkan unsur-unsur moderenismesebagai mana terlihat pada komponen 2 dan 3 diatas.
Syekh Muhammad Abduh adalah murid Al afgani dan Muhammad Rasyid Ridaha adalah murid dari Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal antara dengan guru berbeda dalam banyak hal mereka sama.
III. PENUTUP 

Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor lahirnya pemikiran-pemikiran yang  hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al—Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti.
Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan  yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.